Review Kacangan: Doctor Sleep (2019)

Doctor Sleep adalah sekuel dengan sentuhan baru yang tidak mengandalkan nostalgia The Shining sepenuhnya. Oke, mungkin dua per tiga. Ga lebih, kok.

The Shining adalah mahakarya. Dia adalah 2,5 jam adaptasi Stephen King yang tidak setia, dan membuat sang penulisnya marah. Bukan tanpa sebab, visi Kubrick dan King memang tidak sejalan. Memang bukan pengetahuan yang baru buat para penggemar film, tetapi gue rasa cukup untuk mengawali review ini.

Novel Doctor Sleep dirilis pada tahun 2013, digadang-gadang sebagai “sekuel” dari The Shining dengan menyoroti kisah Danny Torrance dewasa yang sudah tidak sering dipanggil “Doc lagi. Kata “sekuel” perlu dipetikgandakan karena beberapa sebab, utamanya tidak ada nuansa horor yang mengungkap. Bukan berarti Doctor Sleep tanpa misteri, tanpa keseruan, hanya saja mungkin bukan yang diharapkan dari klaustrofobia di Hotel Overlook.

Film dibuka dengan adegan sudut pandang angkasa, mengingatkan akan pembuka The Shining dengan font warna birunya yang agak menyakitkan mata. Bagian prolog ini menyimpan referensi lain seperti Doc bersepeda mengelilingi lorong berkarpet jingga, dan berhenti di depan kamar 237. Sorot per sorot diabadikan persis, dan berkat menonton ulang di HITS channel jadi sempat menyadari hal ini.

Film ini adalah entitas baru, tetapi sering sekali bikin referensi sana sini. Yang paling ketara terletak di bagian akhir film, yakni kalian dibawa kembali ke dalam Hotel Overlook dengan segala horornya. Uuu, si gadis kembar, wanita telanjang, anggur merah tumpah, labirin bersalju. Semua bagian ini terasa hampir mirip dengan homage yang dibuat Spielberg dalam Ready Player One. Terasa agak sintetis, entah itu karena CGI-nya atau apa.

Ada juga adegan ketika Danny harus bicara empat mata di sebuah ruangan yang menyerupai ruang manager Overlook, tulisan “redrum” yang mirip sekali dengan di The Shining (padahal tidak mesti begitu), transisi dissolve yang jumlahnya tidak dihitung lagi. Agak reaching soal dissolve, tapi tren yang satu ini memang prominen di tahun 70-an akhir hingga 80-an awal.

Omong-omong soal era tersebut, ada satu hal yang benar-benar asik buat ditonton di sini. Itu adalah ketika antagonis utama kita, Rosie si Topi, dimainkan oleh Rebecca Ferguson. Udah, itu aja. That’s the tea.

doctor sleep the shining review indonesia nokitron film bahasa indonesia rosie the hat danny torrance jack torrance stephen kubrick king 2019
She’s a real cutie in this flick.

Ga juga sih.

Di antara kekuatan baru yang diungkap di sini, shiner seperti Rosie si Topi ternyata bisa melacak keberadaan sesama mereka. Adegan ini digambarkan dengan memperlihatkan tubuh dia yang melayang secara astral sembari mencari mangsa baru. Rosie diam di tengah bingkai, sembari bumi menggulirkan diri, memberikan kesan green screen layaknya Jin dan Jun. Dan ini bukan cercaan. Mike Flanagan memberikan sentuhan artistik yang keren buat sekuen ini, dengan membuat subjek terasa diam di tengah kemegahan yang bergerak hanya untuknya saja.

Apa yang datang setelahnya adalah adegan horor yang menarik dan berisi, karena memperlihatkan nuansa untuk karakternya. Adegan horor di sini tidak hanya sekadar didasari oleh insting bertahan hidup. Ada twist menarik yang sehingga memberi dimensi pada ketakutan para tokoh yang bersangkutan. Gue juga suka bagaimana horor yang di sini tidak selalu memiliki nilai mistis. Ada sesuatu yang mengerikan dari teror yang datang dari manusia sendiri. Gue rasanya pernah bilang ini di tulisan sebelumnya, entahlah, tapi yang pasti gue lebih ngeri ketika dua orang ga dikenal datang untuk main-main dengan nyawa keluarga lu (Funny Games) atau ketika lu ga bisa ngenalin diri sendiri akibat LSD (Climax). Gue ga ingin membocorkan banyak, tapi yang pasti Doctor Sleep punya itu, yang bikin gue ga kecewa.

Faktor berhasilnya film ini tidak dipungkiri ada dari casting Ewan McGregor sebagai Danny Torrance. Aktor lain juga tidak kalah menyumbang keberhasilan (sempat kaget ketika melihat Si Raksasa dari Twin Peaks, Bruce Greenwood, sama Jacob Tremblay), tetapi Ewan di sini mengangkat karakter Danny dengan aktingnya. Dia tahu kapan harus menjadi pendiam yang lemah, pendiam yang tangguh, atau pendiam lemah yang tangguh.

“Apa sih maksud lo?”

Cacat cela seorang ayah bakal selalu turun ke anaknya, cepat atau lambat, sedikit atau banyak. Doc adalah seorang alkoholik, bakat yang menurun dari Jack. Di babak pertama, Danny punya sejarah yang disampaikan secara kurang mengenakkan. Beneran kurang mengenakkan karena LSF ternyata memutuskan menyensor kokain dan tubuh wanita telanjang di film D17+. Intinya, film ini berhasil buat Danny sebagai karakter yang punya cela dan dia sadar buat memperbaiki diri, sehingga cerita punya perkembangan yang berarti. Perkembangan ini memuncak di akhir babak kedua, ketika Danny harus menghadapi masa lalunya kembali. Dia tidak sendiri, tetapi sesekali ditemani oleh Tn. Hallorann dalam wujud arwah. Ada dua adegan dialog berdurasi panjang di mana hanya ada Doc dan Dick, memberikan nilai sentimental tersendiri soal figur ayah yang Danny tidak pernah dapat.

Karakter yang dalam juga sempat gue perhatikan dari film Flanagan lainnya, yakni Gerald’s Game (juga adaptasi novel Stephen King). Kedua film punya pondasi karakter utama yang kuat, sehingga gue jadi asik buat mengikuti cerita mereka. Tokoh utama yang ngaro ngidul berkeliling negara juga terasa seperti apa yang terjadi di Firestarter (satu-satunya novel Stephen King yang gue pernah baca). Katanya bakal dibikin film (lagi) sih, cuma kurang tahu juga.

Untuk masalah komedi, film ini punya banyak yang tidak disengaja. Salah satu yang paling ketara adalah kamera memusatkan perhatiannya pada kucing putih bernama Azrael yang bisa meramal kematian seseorang sembari memasang muka sengaknya. Latar waktu dan tempat juga seperti kelinci, melompat ke sana kemari dengan letak yang cukup bikin bingung secara geografis.

Layaknya Glass untuk Unbreakable, Doctor Sleep adalah, well, Doctor Sleep untuk The Shining. Ketika semua misteri terungkap selama bertahun-tahun lamanya baik dari James Dunn ataupun Jack Torrance, tidak ada lagi ketegangan yang benar-benar terbentuk. Glass dan Doctor Sleep hanya vulgar menjadi film “action” dengan premis yang sudah terbentuk di film terdahulu. 150 menitan ini terasa seperti orkestra adu kuat antara siapa yang paling cenayang, dengan menambahkan unsur-unsur cerita yang jauh dari kata menyeramkan secara tradisional. Tidak ada kesalahan dari ini, hanya sedikit memberi peringatan tentang apa yang bisa diharapkan.

Yang bisa kalian harapkan adalah pengalaman menonton yang cukup seru, tidak terlalu neko-neko, dan pastinya dibuat dengan craftmanship yang rapi dari salah satu sutradara horor terbaik di era ini.

Doctor Sleep bukan mahakarya. Dia adalah 2,5 jam nostalgia Stanley Kubrick, tetapi juga adaptasi Stephen King yang setia. Tidak mencoba untuk jadi sempit, tetapi menjangkau hal-hal yang belum pernah dieksplor sebelumnya dengan mengorbankan imersi.

Gue suka banget Kanye West – The Life of Pablo (2016)

Sekarang tahu kenapa taste anak yang satu ini jelek sekali: Dia suka The Life of Pablo!

nokitron review musik bahasa indonesia

Layaknya pagi-pagi lain di atas motor, ide acak muncul ke dalam kepala gue. Ketika perjalanan pulang dari pasar sama Mama, gue memikirkan untuk mendengar ulang The Life of Pablo setibanya di rumah.

Kontroversi Kanye West lagi-lagi diperbarui dengan Jesus Is God, album yang baru dia rilis beberapa hari lalu. Penggemar, pembenci membicarakan keabsahan pengakuan West soal “album religi” yang ia buat. Kanye melewati masa-masa yang janggal dengan lebih sering ibadah minggu, melayani di gereja-gereja. Janggal karena perilaku ini bukan yang diharapkan dari seorang rapper yang sering mengangkat hedonisme. Tidak salah orang mencari bukti lebih kalau Kanye telah benar-benar berubah, meski keabsahannya pun tidak begitu berpengaruh pada apapun, sih.

Layaknya Yeezus (maupun Yandhi), Jesus Is King tampil polos tanpa sampul album. Namun kesamaan ini hanya terbatas di situ, soalnya sampul kedua album ini menyampaikan pesan yang berbeda.

Yeezus menelanjangi diri dari My Beautiful Dark Twisted Fantasy yang penuh dengan wibawa, sehingga membawa karya Kanye menuju god complex yang jauh dari sebelumnya. Berselang dua album, Jesus Is King memancarkan nada segan, rendah hati dengan gambar vinyl biru prusia bertulisan kuning emas yang berisi lagu-lagu “gospel” berdurasi singkat.

Apa yang gue denger dari Jesus Is King bukan puji-pujian yang mencerahkan. Salah satu trek paling berkesannya saja adalah On God, lagu dengan arpeggio futuristik dan brass leyot-leyot khas 80-an. Tidak ada nuansa gospel-gospelnya sama sekali.

The Life of Pablo punya Ultralight Beam, salah satu intro terkuat yang pernah gue denger dari album manapun. Lagu dimulai dengan potongan ucapan gadis cilik dengan sulih suara Kanye agar terkesan seperti dialog. Nuansa syahdu tidak terputus ketika bass yang tidak melulu hadir memberi pondasi pada pad menggertak dan drum sinkopatik. Vokal di sini yang justru memberikan dimensi lebih melalui sekelompok paduan suara, Chance the Rapper, dan Kanye sendiri.

We on an ultralight beam
We on an ultralight beam
This is a God dream
This is a God dream
This is everything
This is everything

Satu lagu terasa mengangkat, tetapi apa yang tiba di outro melempar Ultralight Beam ke tingkatan yang baru dengan performa vokal yang menggetarkan dan klimatis.

Nuansa gospel berlanjut dalam Father Stretch My Hands Part 1, dalam takaran tertentu. Part 1 memiliki sample dari Father I Stretch My Hands-nya Pastor T. L. Barrett yang dicincang sedemikian rupa. Namun tepat di detik setelah tag Metro Boomin keluar, lagu berubah haluan menjadi Kanye yang kita tahu, yakni arogan dan hedon. Bagaimanapun, baris “bleached asshole” yang terkenal berasal dari trek ini.

Apa yang terdengar selanjutnya dari The Life of Pablo adalah kolase lagu-lagu yang tidak berkaitan. Hal ini memang benar adanya apabila album ini tidak memiliki konteks. Nyatanya, The Life of Pablo punya sejuta konteks yang membentuk tiap suasananya.

Kanye tidak mau move on dari kejadian VMA dengan menyinggung Taylor Swift di Famous, blak-blakan soal laptop-nya yang dicuri dalam Real Friends, pamer soal Yeezy mengalahkan Jordan dalam Facts. Kehidupan pribadi Kanye adalah benang dari kumpulan “kekacauan” ini, sehingga menghadirkan kesan tersendiri ketika mendengarkan album ini berulang-ulang.

Bicara soal berulang-ulang, The Life of Pablo memang dirilis beberapa kali. Ada perubahan yang terjadi dari rilisan di Tidal dan akhirnya hijrah ke Spotify dengan satu lagu tambahan, Saint Pablo (kita bakal bahas nanti).

Gue adalah salah satu saksi saat The Life of Pablo baru banget dirilis. Ga bakal lupa kacaunya perilisan album ini. Mulai dengerin album ini berulang-ulang di Musicbee gue, dan setelah nyoba denger di Spotify, ada beberapa perubahan drastis. Salah satu yang paling utama adalah penambahan reese bass yang menggaruk telinga di beberapa kesempatan. Komponen-komponen kecil juga banyak nimbrung di sini, entah itu kontribusi vokal atau string tambahan. Tapi satu yang pasti, mix-nya sengaja memberikan nuansa kalau komponen tersebut merupakan hasil tambalan, yang memang baru ditambah setelah perilisan perdana.

The Life of Pablo mengandung banyak trek selingan yang “redundant”. Bagi gue, mereka justru membentuk kepribadian album dengan lebih nyata. I Love Kanye adalah akapela solo yang memberikan pandangan satir mengenai dua sisi Kanye yang orang-orang bedakan: Kanye lama yang suka pakai sample soul dan Kanye baru yang angkuh. Silver Surfer Intermission adalah “akapela” lainnya dalam album ini. Dialog Max B dan French Montana via ponsel mengutarakan dukungan kepada Ye soal album barunya. Lonjakan moral yang nampaknya dia butuhkan pada saat itu sampai-sampai disisipkan di album sendiri.

Kanye lama dan Kanye baru nyatanya memang muncul dalam album ini. The Life of Pablo timbul dengan eksperimentasi dan tradisi, minimalis sekaligus detil, boom bap dan trap rap. Dia adalah rangkuman kecil dari warna musik yang Kanye teliti selama tujuh album terakhir (jika menghitung Watch the Throne). Sayang sekali tidak ada yang pernah mengangkat argumen versatilitas ketika bicara soal The Life of Pablo. Alih-alih lagu akustik lo-fi setengah matang, gue justru denger pengaruh deep house di Fade, sedikit percikan soul di Part 1, penggunaan instrumen noise di Feedback maupun Freestyle 4.

Rendisi awal TLOP berakhir di Fade, sedangkan versi finalnya memberikan Saint Pablo untuk didengar di Spotify dan Apple Music. Fade adalah trek sensual yang ditunjukkan dengan bassline meloncat (“bouncy” bahasa Indo-nya apa sih?) nan menggoda dengan baris berbau seksual “deep deep down inside” yang diulang-ulang. Kalau itu belum cukup, video untuk lagu satu ini tampak binal untuk platform sebersahabat Youtube. Saint Pablo di lain sisi terasa seperti malam hari di gereja terpencil sembari bintang-bintang berlarian, menyisakan jejak putih di atas langit. Fitur Sampha di chorus padu dengan instrumen yang mellow dan mengalun, pun Kanye yang bicara soal merelakan dirinya kepada Tuhan. Bukan trek gospel secara tradisional, tetapi merupakan dimensi berbeda dari apa yang tersajikan di Ultralight Beam.

Ibaratnya video game, album ini menyajikan dua “ending” dari TLOP. Saint Pablo bukan sekadar trek bonus, melainkan interpretasi baru soal album ini. Jika hanya berakhir di Fade, TLOP adalah seseorang yang tidak belajar, terjatuh ke dalam lubang yang tidak ingin dia untuk panjat. Saint Pablo memutarbalikkan persepsi tersebut, sehingga progres Kanye menuju ye dan Jesus Is King adalah masuk akal. Kedua album setelahnya adalah usaha dalam memperbaiki diri, tidak bersembunyi di balik imej gengsi dan pamer harta. Meski begitu, bukan berarti progres Kanye sepenuhnya lengkap.

Masih banyak hal yang menanti untuk dikupas, hanya waktu yang bisa berujar.

Review Kacangan: Living With Yourself (2019)

Seri Netflix yang berhasil membuat terkesan. Bukan berarti kehadiran Paul Rudd saja tidak cukup.

Untuk mengakui Living With Yourself sebagai komedi adalah sebuah salah besar. Seri Netflix ini jauh dari kata lucu, kalau definisinya di sini adalah serangkaian peristiwa di luar nalar yang dapat membuat penontonnya tertawa. Maaf untuk mengawalinya dengan ini, Living With Yourself bukan itu.

Seri delapan episode ini bertempat di semesta yang telah menemukan teknologi rapidclone, yang artinya sebuah klon dapat diciptakan dalam waktu relatif singkat. Miles Elliott adalah sebuah anomali, di mana individu aslinya gagal dimatikan. Hasilnya, mereka berdua hidup dan harus berebut macam-macam aspek hidup: pekerjaan, mobil Honda Element, dan istri yang sempurna.

Living With Yourself mempertaruhkan semuanya pada Paul Rudd, aktor komedi yang karismatik dan menjadi underdog bagi khalayak internasional, sebelum bergabung dengan Marvel Studios sebagai Ant-Man. Untuk khalayak Amerika Serikat, Rudd adalah salah satu aktor yang membentuk Anchorman, Clueless, dan beberapa musim akhir dari Friends. Syukurlah mereka tidak salah pilih. Rudd menghancurkan peran ini dengan hebat sebagai Miles.

Berperan sebagai dua orang saja sudah merepotkan, apalagi ketika harus menimbulkan ciri khas yang berbeda dari satu sama lain dalam satu adegan. Kedua karakter ini terlihat cukup kontras di banyak momen, sehingga tidak menimbulkan kerancuan. Hasilnya, kecanggungan, kemarahan, romantisme dan humor yang ingin disampaikan tereksekusi secara akurat.

Akting Paul sebagai dua pribadi dengan penampilan fisik yang berbeda bisa ditilik dari karya sebelumnya. Miles lama yang pesimis, menghadapi mid-life crisis persis seperti pada film Role Models. Miles baru (kloning) yang optimis dan romantis dapat disaksikan kemiripannya dalam film I Love You, Man sebagai Peter Klaven.

Living With Yourself suka sekali pamer akting Rudd. Buktinya kedua Miles sering tampil dalam satu adegan, dan berkat teknologi CGI yang rapi, tidak ada kecanggungan secara teknis. Hanya kecanggungan intensional. Seperti saat di mana harus mengingat cewek pertama yang mereka cium saat SMP.

Tidak banyak momen “lucu” dalam seri ini. Komedi yang pecah baru benar-benar terasa di episode terakhir dengan sebuah konflik miniskul yang dilanjutkan pada babak katarsis yang menutup permasalahan secara konklusif. Tujuh episode sebelumnya? Lebih mirip menonton drama dengan segelintir humor kelam di sana-sini. Ini pujian, omong-omong.

Membahas konsep kloning selalu ujung-ujungnya bicara soal filosofi lagi, dan meski Living With Yourself tidak pernah buka-bukaan menyinggung teritori tersebut, tapi bukan berarti seri ini tanpa arti. Cara kedua Miles mencari cara untuk memanfaatkan anomali ini adalah salah satu aspek ringan yang menyenangkan untuk disaksikan, tetapi isi sesungguhnya ada di titik ketika kita mempelajari apa yang karakter-karakter ini inginkan dalam hidup mereka.

Kedelapan episode diisi dengan berbagai perspektif dari Miles lama, Miles baru, dan istri mereka, yakni Kate. Seri bermain-main dengan alur bolak-balik sampai tidak afdol kalau tidak ada info baru di masa lampau yang ditampilkan di tiap awal episode.

Perlu diketahui kalau tokoh-tokoh ini tidak pernah ditetapkan sebagai orang baik atau orang jahat, dan keabu-abuan ini yang memberikan bumbu tersendiri dalam Living With Yourself. Memastikan kalau tidak ada yang bisa diandalkan dalam seri ini, yang maksudnya tidak akan terbentuk #TeamMilesLama maupun #TeamMilesBaru. Meski begitu, tidak salah sih kalau menganggap Miles asli sebagai orang yang benar-benar buruk.

Inti dari Living With Yourself bukan soal menentukan apa yang baik dan bukan. Motivasi Miles pertama kali untuk (secara tidak sadar) melakukan kloning adalah untuk mencari kebahagiaan. Ternyata setelah diketahui, kebahagiaan pun tidak dicapai. Yang ada hanya penderitaan dalam mencapainya, atau dalam berangan-angan mendapatkannya. Miles baru, dengan segala sisi cerahnya, seharusnya bisa mudah dalam menjadi bahagia, tetapi satu hal tidak dilupakan oleh seri ini, dan itu adalah kompleksitas manusia.

Kompleksitas itu juga yang membuat keputusan absurd yang Miles lakukan sulit dibenarkan. Bagaimana tidak, dia membolehkan Miles kloning untuk memegang HP-nya di sepanjang cerita. Ya memang benar kalau Miles 2 ini yang mengurusi urusan kantor, jadi masuk kalau dia memegang HP dengan kontak kantornya. Namun entahlah, bagian cerita yang satu ini tidak benar-benar sreg diletakkan.

Miles lama harus mengorbankan kemampuannya untuk berkomunikasi dengan istrinya sendiri, di mana dia cemburu habis-habisan kepada Miles baru yang punya banyak pesona. Dari sini saja, lebih masuk akal jika Miles lama mencari cara agar tetap bisa bertelepon dengan istrinya, bagaimana pun itu. Kompleksitas.

Russian Doll adalah seri Netflix lain yang punya premis imajinatif, bedanya kali ini menyerupai Groundhog Day. Kedua seri mengaku sebagai komedi, tetapi nyatanya menampilkan akting meyakinkan dari Paul Rudd dan Natashya Lyonne, pun berhasil menyisipkan nilai sentimental tentang kehidupan. Kedua seri ini bukan mahakarya dalam segi apapun, tetapi cukup untuk membuat berpikir sejenak dan setidaknya memberikan apresiasi terhadap cerita dan tokoh yang dibentuk oleh orang-orang ini.

Aku ingin melihat banyak lagi seri-seri seperti ini di Netflix.

Living With Yourself dapat ditonton di sini.

Review Kacangan: Ad Astra (2019) – Tidak Ada Tuhan di Luar Angkasa

Nokitron menganalisa lebih dalam tentang apa yang membuat film sebesar Ad Astra terasa sangat dekat dan terhubung.

Monolog, suara hati, atau apapun itu; bahasa film yang jarang digunakan belakangan ini. Tokoh utama yang bicara secara introspektif sering ditemui dalam film noir atau sinetron Indonesia. Umumnya untuk mengungkapkan niat jahat ataupun niat baik. Roy McBride bukan keduanya, dia hanya pria yang tidak peduli soal bicara dengan orang lain.

“Jangan sentuh aku.” adalah salah satu ucapan batin yang saya ingat jelas dari karakter utama Ad Astra ini. Suara introspektif ini jarang dipakai sineas Hollywood karena mereka hanya tahu dua jenis percakapan: Ketika mulut berkata atau tidak sama sekali. Dalam ekstrimnya, jenis kedua dipakai kalau ingin menunjukkan ketersiratan, pilihan pertama dipakai untuk eksposisi plot yang menjemukan.

Ad Astra bukan film yang tersirat. Nyatanya, Roy McBride adalah astronot dengan kisah paling terbuka sepanjang saya menonton film luar angkasa. Suara hatinya selalu dikeluarkan entah melalui narasi, kilas balik, atau sekadar percakapan kecil dengan kolega.

Astronot pada film-film umumnya punya tujuan ke luar angkasa untuk membuktikan diri, menyelamatkan Bumi, menjelajahi, menjalankan misi; tapi intensi-intensi tersebut tidak pernah menjelaskan sifat alami dari karakter yang bersangkutan.

Ad Astra adalah perjalanan manusia tunggal, tidak pernah memanah pada keberlangsungan umat manusia secara langsung. Film ini pribadi, terima kasih kepada Brad Pitt yang berhasil mematahkan batasannya sendiri setelah menjadi Cliff dalam Once Upon a Time in Hollywood… Memang ada plot entah itu tentang keluarga, konspirasi, spiritualisme. Namun, layaknya Roy, Ad Astra tidak pernah memalingkan pandangannya pada satu nilai yang film ini pegang.

Sutradara James Gray mempersilakan penontonnya untuk meneliti karakter Roy McBride selama 127 menit. Roy adalah astronot tangguh, terlihat memegang kendali utuh atas badannya. Kecelakaan di menara satelit kiloan meter tingginya pun hanya membuat jantungnya berdetak sedikit lebih kencang dari yang sudah-sudah: tidak lebih dari 100 bpm.

Hidup Roy mulai terusik ketika dia disuruh melakukan komunikasi antar-planet bersama ayahnya yang puluhan tahun hilang tanpa kabar. Rasa bimbang pun tumbuh di hati Roy.

Menonton Ad Astra terasa seperti menguliti bawang merah. Tiap lapisan dari karakter utama kita perlahan-lahan memberikan kesedihan. Film ini bicara keras kepada kaum introvert. Tidak pernah sombong, tetapi rendah hati dan berusaha mencari tahu sebab utama kesendirian tokoh utama kita.

Untuk film dengan tema luar angkasa, Ad Astra mengeksploitasi ruang hitam tanpa batas secara sungguh-sungguh. Bukan menunjukkan entitas lebih tinggi seperti 2001: A Space Odyssey, bukan menunjukkan perjuangan hidup seperti Gravity, tetapi bagaimana menyikapi fakta kalau manusia hanya sendiri.

Kalau karakter utama kita hanya sendiri, dan dibatasi dengan masa lalu yang tidak bisa membuatnya pergi. Tiap frame dari pengarah fotografi Hoyte van Hoytema hanya mengempasis unsur ini tanpa memberikan sedikit optimisme. Roy butuh perjalanan mencari Clifford, ayahnya, di planet Neptunus untuk menyadari satu hal penting kalau cinta dia kepada sang ayah hanya bergerak satu arah. Ironis, karena Clifford juga bergerak menjauhi Roy sampai ke ujung tata surya. Ribuan juta mil jauhnya.

“Ini adalah rumahku.”, ujar sang ayah di pesawat ulang alik yang sunyi itu. Satu-satunya harapan Roy hilang. Puluhan tahun menaruh harap, agar setidaknya bisa melihat tujuan hidupnya bangga. Tidak ada musik, tidak ada teriakan, hanya kecewa yang hadir dalam bentuk air mata, baik mata Roy maupun mata saya.

Tetapi bukan hanya Roy yang dikecewakan. Clifford juga punya sedikit nilai sentimental dalam film ini. Ia menjelajahi ribuan mil dengan optimisme kalau ada bentuk kecerdasan selain manusia. Ini adalah misi utamanya. Program yang diterima Clifford semenjak meninggalkan Bumi, yakni untuk tidak mengecewakan Tuhan atas apa yang dikaruniakan kepadanya – Ia sempat berkata kalau usahanya adalah “misi Tuhan”.

Ternyata, tidak ada Tuhan di luar angkasa.


mv5bytiwytrimdutmdnhzc00mmnilwi3oditnge0n2jkngm5mwiwxkeyxkfqcgdeqxvyntu3njk4ntu40._v1_sx1777_cr001777740_al_

Melalui Ad Astra, James Gray terkesan mencentil konsep eksplorasi luar angkasa yang vulgar. Bagaimana rasa keingintahuan kita menyajikan ribuan pertanyaan di luar sana, padahal jawabannya hanya satu, dan itu kembali menelisik ke dalam. Berpegang pada apa yang telah kita punya adalah kuncinya. Meski ini terkesan lugu untuk beberapa orang, buah pikiran ini lebih indah ketimbang “cinta menembus ruang dan waktu”-nya Interstellar.

Film ini juga tidak jarang memancarkan aura art-house di dalamnya. Penceritaan karakter yang intim ditemani dengan pembawaan yang kalem, membuat bosan, tidak berarah, dan tentunya tidak semenarik film yang ditarget untuk pasar tertentu. Saya melihat banyak pengaruh Denis Villeneuve di sini. Lucunya, adegan kredit awal memancarkan suasana Blade Runner, yakni salah satu franchise yang sempat ditangani Denis di tahun 2017. Worldbuilding memancarkan sedikit Sicario, dan psikologi astronot yang dibahas mengingatkan akan Apocalypse Now.

Saya memuji selama 600-an kata bukan berarti film ini tanpa cela. Banyak unsur plot yang bisa hadir dengan pilihan yang lebih darurat. Soalnya, banyak keputusan “urgent” yang terkesan merepotkan diri alih-alih memberikan alasan pasti kenapa itu harus dilakukan. Sebut saja kepergian Roy ke Mars untuk berkontak dengan ayahnya melalui suara. Kenapa tidak kirim saja pesan tersebut melalui Bumi? Itu satu di antara beberapa, saya tidak ingin fokus terlalu banyak.

Last but not the least, saya ingin berbicara lagi sinematografi di film ini. Tekstur pantulan cahaya sembari kita disajikan pemandangan luar angkasa adalah detil kecil yang membuat tersenyum kecil. Terasa seperti benar-benar menanamkan kamera film ke luar angkasa demi tujuan estetika. Simetrisme juga jadi andalan dalam film ini. Tidak jarang objek utama diletakkan di tengah layar untuk menggambarkan kekosongan luar angkasa.

Gubahan musik Max Richter mengangkat tensi adegan dengan cara yang menarik. Interstellar boleh jadi tak kalah kuat dalam segi sinematografi – mereka sama-sama diarahkan oleh Hoytema –, tetapi saya tidak pernah menemukan karisma yang orang lain lihat dari suara-suara karangan Hans Zimmer. Bebunyian keras sok majestik yang jauh dibandingkan Richter di Ad Astra.


review ad astra bahasa indonesia

Satu hal yang saya lihat dalam film ini selain Roy dan Clifford adalah STARCOM. Rasanya mereka adalah pengelola politik luar angkasa yang mengatur sumber daya, transportasi, dan juga keamanan. Ada satu adegan di mana Roy dikawal oleh salah satu petinggi STARCOM di Bulan. Ada sengketa di sana sehingga warga sipil dapat dihabisi oleh oknum ilegal. Bahkan pergi dari Bumi pun tidak memberikan kedamaian. Tetap ada yang namanya kematian dan cabang Subway di stasiun luar angkasa.

Kembali ke STARCOM. Mereka mengatur semuanya, termasuk menyuruh Roy untuk melakukan apa yang mereka inginkan. STARCOM juga menyuruh awak-awak pesawat untuk membunuh Roy saat ia masuk secara diam-diam. Di satu adegan mereka memuji Roy, anak sang legenda. Di adegan lain, hati nurani mereka tidak bekerja. Hanya meminta petunjuk dari STARCOM.

“Musnahkan masalah dengan cara apapun.”, dan mereka jadi membunuh. Sejauh yang saya lihat, STARCOM adalah penyelamat. Mereka adalah Tuhan bagi para orang-orang di sana.

God is an astronaut. Nama band post-rock yang cukup cheesy, tetapi agak relevan untuk menggambarkan situasi ini.