Review Kacangan: Black Lagoon (2006, 2010)

Terlepas banyak cela, ada alasan kenapa anime ini punya cult following-nya tersendiri. Iya kalian bener, gara-gara ada Revy.

Ada baiknya review ini gue mulai layaknya kalimat pembuka revisitrevisit sebelumnya: Udah lama banget ga nge-review anime.

Lanjutkan membaca “Review Kacangan: Black Lagoon (2006, 2010)”

Review Kacangan: Devilman Crybaby (2018)

Gubahan ulang manga legendaris dengan style orisinil yang dapat dinikmati terlepas dari cacat celanya.

Saya tidak mau menganalisa banyak soal seri ini. Ya mungkin lain kali lah tapi review ini cuma bersifat rekomendasi agar kalian tahu gambaran besar dari Devilman Crybaby.

Seri ini diadaptasi dari manga karangan Go Nagai tahun 1972 dengan judul Devilman. Anime ini bakal membawakan cerita yang sama seperti di manga, cuma dengan perubahan di sana-sini untuk menyesuaikan cerita dengan zaman.

[HorribleSubs] Devilman Crybaby - 10 [720p].mkv_snapshot_00.24

Konsep utamanya melibatkan kehadiran manusia dan iblis. Seri ini mengikuti cerita Akira Fudo, yakni seorang siswa SMA yang berhasil mengalahkan iblis yang merasukinya sehingga mendapatkan kekuatan dari iblis tersebut. Di dalam perjalanannya membasmi iblis, dia ditemani oleh Ryo Asuka.

Seri ini disutradarai oleh Masaaki Yuasa yang terkenal karena seri anime-nya yang berjudul Ping Pong dan The Tatami Galaxy. Selain itu, beliau baru saja bikin dua film anime tahun lalu yang berjudul Yoru wa Mijikashi Aruke yo Otome dan Yoake Tsugiru Lu no Uta.

Perlu diketahui bahwa manga ini adalah cikal bakal inspirasi manga dan anime edgy semacam Berserk dan juga Evangelion, jadi bisa kebayang atmosfir yang ingin dibawakan anime ini seperti apa.

Langsung saja. Untuk peringatan pertama, jangan nonton anime ini di tempat umum. Anime ini cukup keras, kebanyakan karena unsur dewasanya yang bisa dikatakan over the top.  Karena seri ini didanai oleh Netflix (yang notabene selalu legowo soal hal seperti ini), para pembuat akhirnya bebas untuk memasukkan adegan senggama dan juga penggunaan narkoba di seri ini. Tapi ini bukan cuma buat tanpa sebab, karena di Devilman Crybaby ini, hal-hal semacam itu ditegaskan untuk menyatakan bahwa manusia itu tidak jauh berbeda dengan iblis.

[HorribleSubs] Devilman Crybaby - 07 [720p].mkv_snapshot_19.07.png
That 666 is not even subtle. I LOVE IT.

Karena memang adaptasi dari manga, maka tidak heran jika kalian akan menemukan unsur-unsur yang susah lepas dari karya aslinya sendiri. Unsur yang dimaksud di sini adalah penceritaannya yang kadang sedikit cheesy dan juga tempo yang agak berantakan. Hal ini cukup dimaklumi karena di manga aslinya memang tidak jauh berbeda juga, terutama soal karakter Ryo yang serba bisa apapun. Banyak yang bakal bilang kalau karakter ini cukup tidak realistis tapi tunggu saja setelah kalian lihat episode terakhir hohoho

Kalau unsur yang buruk tadi tersisa karena dibuat mirip, namun ada juga hal-hal yang dibuat berbeda tapi juga sedikit mengecewakan. Saya sebagai penggemar OVA Devilman: The Demon Bird sangat menanti aksi pertarungan antara Akira dengan Siren di Devilman Crybaby. Bagi yang belum menonton, cerita yang merupakan arc kedua di manga ini dibuat sangat mendalam dan juga dikoreografi dengan apik di dalam OVA tersebut. Devilman Crybaby tidak menyajikan hal yang cukup spektakuler, malah terkesan sangat sumpek karena durasi pertarungan mereka dipotong singkat. Mungkin ini terjadi karena keterbatasan durasi yang hanya sebanyak 10 episode (akibatnya plot juga agak terburu-buru), tapi siapa yang tahu. Meski begitu, kekecewaan ini akan tertutupi setelah melihat bagian-bagian cerita lain yang dieksekusi dengan baik oleh Yuasa cs seperti saat nasib keluarga Makimura yang dibuat cukup tragis.

[HorribleSubs] Devilman Crybaby - 04 [720p].mkv_snapshot_13.45.png

Relasi antara karakter Akira dan Ryo yang cukup dalam, penggunaan karakter Miki yang jauh penting ketimbang manga aslinya, maupun penambahan karakter-karakter pendukung yang digunakan untuk menyampaikan pesan secara lebih baik ditambahkan di dalam Crybaby. Artstyle yang minimalis dan fluid kadang tidak berpihak untuk mengantarkan adegan-adegan kunci, namun ketika ada effort yang dimasukkan, seri ini benar-benar bersinar. Hal ini ditunjukkan di episode 1 maupun 6 dan 9.

Sekuens emosional tidak luput dari seri ini, yang kebanyakan merupakan alasan kenapa para penonton menyukai aksi Akira dalam menyelamatkan manusia. Terlepas dari banyaknya unsur seksual maupun sadisme yang muncul, cerita tetap berhasil menemukan titik lemah di karakter utama Akira dan (khususnya) Ryo yang membuat seri ini lebih dari sekadar pamer tetek maupun gore. Seri akan berubah menjadi festival nihilisme di beberapa episode terakhir, yang sama seperti di manga, jadi penonton hanya perlu duduk manis menantikan semua hal berubah menjadi rusuh dalam sekejap.

[HorribleSubs] Devilman Crybaby - 05 [720p].mkv_snapshot_15.13.png

Musik selalu menjadi unsur utama dari karya milik Masaaki Yuasa entah disadari atau tidak. Di Devilman Crybaby, sulit untuk tidak menyadarinya. Singkat saja, genre yang digunakan dalam seri ini berkutat pada: electronic ambientsynthwave/synthpop, hip hop, dan techno, mungkin house. OST ini terkesan cukup kontemporer, mengingat jazzclassical, dan ambient adalah konstruksi kebanyakan anime. Mungkin bisa disandingkan dengan Noragami, mengingat penggunaan OST-nya yang sangat tidak biasa, namun cukup berhasil dalam menggaet feel yang cocok di anime ini sendiri. Gubahan ulang dari tema anime 1972-nya pun juga disematkan di beberapa sekuens. Sedikit easter egg. 

Oh yeah, oh yeah.

Dalam kesimpulannya, apa kalian akan menikmati seri ini? Saya akan jawab iya jika kalian:

  • Suka anime bertema superhuman seperti Ajin maupun Tokyo Ghoul
  • Suka anime Masaaki Yuasa, terutama Ping Pong dan Kaiba
  • Tidak masalah dengan quality dan juga unsur dewasa di sana-sini
  • Oke saja dengan beberapa penceritaan cheesy
  • Ingin mengikuti cerita yang berbeda dari manga aslinya
  • Tidak tahan dengan artstyle manga aslinya (meski harus tetap baca manga-nya sih karena cerita dan penyampainnya agak jauh berbeda)
  • Suka cerita depresif seperti Berserk dan Evangelion (bagaimanapun, manga ini menginspirasi Miura dan Anno)
  • Itu aja sih

Review Kacangan: Koe no Katachi (2016)

Kisah penebusan dosa yang disampaikan dengan adem dan berkarakter.

Yang belum menonton, kebijakannya disarankan. Review ini cukup berbau spoiler.

(Kecuali u tak masalah. Gue sih oke aja)

Saya orangnya selalu terlambat kalau masalah hype-train di dunia anime. Kalau ada yang bilang sebuah anime bagus, pasti saya baru tonton (atau tamati) minimal 1 tahun setelahnya. Bukannya kenapa, mungkin anime tidak semenyenangkan dulu.

Koe no Katachi beda. Singkatnya ini saja, ini film menyamar sebagai anime.

Sama seperti karya Satoshi Kon dulu. Mudah menyebutkan film yang mirip Tokyo Godfathers atau Blue Perfect, tapi bakal susah menyebut anime yang mirip dengan film-film tersebut.

[HorribleSubs] Koe no Katachi - 00 [720p].mkv_snapshot_02.05.46_[2018.01.04_13.50.38]

Sekali lagi, Koe no Katachi ini film menyamar sebagai anime.

Act pertama film dibuka dengan lembut. Pikir penonton yang tidak pernah membaca manganya pasti hanya satu: “Wah ini bocah rambut jabrik pasti bakal baik banget sama si bocah tunarungu ini.” You fool! (Well I was, too)

Nampaknya ini adalah film tentang perundungan di kalangan SD Jepang sana. Prasangka sangat keras, bahkan mulai dini. Ya mungkin di Indonesia juga ada SD yang sama, namun saya beruntung saja tidak pernah dapat seperti itu. Malah justru masa kelas 3-4 SD adalah masa yang paling menyenangkan bagi penulis (seandainya bisa ingat jelas). Bisa dibilang saya adalah privileged brown boy.

[HorribleSubs] Koe no Katachi - 00 [720p].mkv_snapshot_00.02.59_[2018.01.02_21.01.24]

Oh iya, perundungannya. Digambarkan dengan jump cut sana-sini. Ishida (si bocah rambut jambrik) selalu merundungi Nishimiya (bocah tunarungu) tanpa alasan. Delapan alat bantu dengar dilemparnya seperti orang tolol. Hampir mau saya tinju monitor saya. Kawan-kawan Nishimiya lainnya juga tidak terlalu berbeda, hanya saja Ishida yang memang keterlaluan.

Boleh jujur? Adegan perundungan di kartun ini bisa dibilang cukup lebay. Kalaupun memang benar ada yang seperti ini, diberkatilah anak-anak di Jepang. Kalian manusia hebat. Pantas matahari terbit di negara kalian.

Intinya memang adegan-adegan tersebut cukup eksageratif. Tapi kalau dibilang tidak perlu, ya memang perlu. Sangat perlu. Lagipula, Ishida kecil juga sempat menunjukkan rasa bersalahnya di suatu momen. Boleh, lah.

Oh iya, credits awal film dibuka oleh My Generation-nya The Who. Tidak terlalu kenal band-nya, sih, tapi boleh, lah. Fits the mood.

Lompat ke masa SMA, masa paling menyenangkan di dunia! Setidaknya untuk semua orang kecuali Ishida. Rumornya sebagai perundung muncul sejak Nishimiya pindah sekolah. Teman dekatnya pun menghilang, ia hanya sendiri, dan di sini lah film ini menunjukkan taringnya.

Koe no Katachi adalah tentang seorang perundung yang mengenali kesalahannya. Ishida sudah mengumpulkan 1,5 juta yen (300 juta rupiah) hasil kerja sampingan untuk ibunya. Dia baru saja ingin lompat dari jembatan, namun tidak jadi. Saya selalu sulit untuk bisa relate pada karakter yang ingin bunuh diri (entah itu fiksi atau nyata), namun Ishida muncul sebagai beralasan.

Memang benar kalau dia merundungi Nishimiya dengan cukup brutal. Hal terburuknya, dia melakukannya tanpa alasan. Namun tiba-tiba hidupnya menjadi sendiri. Orang suka mencari kambing terhitam dari antara yang terhitam. Prasangaka itu mungkin sudah hilang di imej Ishida, namun lelaki ini tetap memiliki lukanya. Sebagai akibatnya, Ishida mulai menempel tanda silang ungu pada wajah semua orang. Dialog buruk selalu ia pikirkan soal ucapan orang kepadanya, sehingga di satu adegan, dia pun menutup telinganya, berharap bahwa dia tidak bisa mendengar suara orang.

Shoko Nishimiya pun datang.

Dimulai dari sini, cerita berubah cukup light-hearted. Perjalanan Ishida tidaklah sendiri lagi. Setidaknya dia punya harapan untuk meminta maaf. Penyesalan di bawah sadarnya membuatnya ingin mempelajari bahasa isyarat, dan siapa yang sangka kalau ternyta hal itu akan ia pakai. Sebuah takdir yang cukup mengejutkan baginya.

Setelah ini, adegan yang terkesan sepele muncul lebih banyak. Sepele bagi sebagian orang, mungkin, karena menurut pribadi, hal-hal sepele ini lah yang membuat Koe no Katachi beda. Ishida kecil memainkan pensil mekanik, Yuzuru memfoto kodok mati, atau Nishimiya mengganti model rambutnya. Hal sepele. “Buat apaan, sih?”. Tapi dinamika ini yang justru membuat Koe no Katachi hidup. Kalau belum terbiasa, sulit sebagai pembuat untuk menggabungkan hal-hal sepele ini sebagai alat untuk menyampaikan karakter. Ketersiratan seperti ini yang jarang dimiliki anime. Meski banyak anime yang katanya emosional, namun penyampaian mereka selalu straightforward. Ada sebuah keterburuan di anime-anime itu, dan di Koe no Katachi, hal itu tidak terjadi.

Setelah dihakimi oleh Yuzuru, Ishida mulai menerima semuanya dengan lapang dada. Diskors seminggu pun ia hanya bisa  menyalahkan dirinya, menerima kekalahannya. Masa orang seperti ini katanya perundung?

 

Hal-hal terjadi begitu saja. Nishimiya kangen dengan teman dekatnya (yang sekarang jadi cantik sekali) bernama Sahara? Ayo kita cari. Ketika klimaks hampir terjadi pun, tidak ada pertanda yang benar-benar berarti. Menonton film ini seperti menyaksikan sesuatu yang tenang terjadi (anggaplah air sungai  jernih mengalir), namun sambil berpikir bahwa akan ada saatnya kita untuk merefleksikan sesuatu.

Sama seperti menonton film seperti Solanin, Say Anything…, ataupun Begin Again (dan banyak film non-anime lainnya) yang tidak pernah merepotkan diri untuk mencari tujuan dalam ceritanya. Setidaknya itu yang pribadi rasakan.

Membahas satu-satu karakter tidak akan terlalu menghemat kata. Banyak yang bisa dikatakan soal Nishimiya dan mengapa dia ingin bunuh diri. Dunia sudah terlalu banyak berhutang kebahagiaan kepadanya. Dia sudah mencoba sebisanya, keluarganya sudah mencoba sebisanya, tapi dia belum menemukan apapun yang membuat hidupnya berharga. Sayang dia berpikir begitu, padahal wajahnya sangat rupawan. Tapi lupakanlah. Semua wanita di film ini wajahnya minimal juga manis jadi tentu saja dia merasa depresi, karena cuma dia wanita cantik yang tuli dan bicaranya gagu.

Meski wajahnya cantik-cantik, para wanita di sini juga justru mendapat cercaan dari para penonton. Terlebih Ueno.

Ueno adalah teman sebangku Ishida saat SD. Saat mereka bertemu kembali setelah beberapa tahun, Ueno mencoba sesupel saat ia SD dulu. Ishida tidak menyukai sikapnya yang menurutnya saat ini adalah SKSD. Sifat Ishida sudah berubah, tapi Ueno tidak menyadari itu. Dia masih ingin masa SD-nya terulang kembali. Saat ketika mungkin Ishida bisa menjadi pacarnya atau semacamnya. Masa di mana Nishimiya tidak muncul dan “merusak” Ishida menjadi seperti sekarang. Dia ingin sekali itu, namun penonton, sepolos yang mereka sadari, melewatkan poin tersebut.

Masih saja menyangkal kalau Ueno adalah tokoh brengsek. Ishida juga tokoh brengsek. Nishimiya juga tokoh brengsek, meski dia kadang tidak sadar. Tidak ada gunanya membuat anggapan seperti itu.  Itu inti Koe no Katachi: semua orang itu tidak sempurna.

Sama dramatisnya seperti act pertama, ada satu adegan yang melibatkan Ueno dan Nishimiya di bianglala. Adegan itu cukup membuat geram, apalagi karena ucapan Ueno yang tidak memikirkan perasaan Nishimiya. Namun sekejam act pertama, seperlu itu juga adegan itu ada untuk membuat film terasa spektakuler. Ibaratnya bola bekel, kalian harus melempar sekerasnya untuk membuatnya memantul setingginya. Euforia kebahagiaan yang dirasakan setelah konflik berakhir membuat Koe no Katachi berbeda.

Film ini disusun melodrama yang mengusik. Itu benar. Tapi Koe no Katachi juga memiliki ketenangan di dalamnya. Introspeksi seorang Ishida dipahami dengan sangat baik. Direksi humor yang cenderung kering membuat film dapat bertahan di nada seriusnya, sehingga karakter Ishida tidak pernah terganggu selama penceritaan.

Koe no Katachi menggabungkan chaos and clarity (ceileh) dengan baik. Tanpa ini, Koe no Katachi akan seperti film introspektif biasa ataupun anime sinetron biasa. Mereka secara mengejutkan dapat bergabung dan memanipulasi penonton dengan cara yang unik. Entah harus bertutur baik pada sang mangaka, penulis naskah, atau sutradara, tapi yang pasti terima kasih karena telah menciptakan/menyusun ulang/menyampaikan cerita ini.

Kalau diperhatikan seksama, ada sedikit noise di tekstur langit ini. Unsur ini yang membuat Koe no Katachi memiliki feel tersiratnya sendiri.

Dan untuk sakuganya, sebenarnya ingin membahas banyak. Namun selama menulis, saya lebih sadar kalau kekuatan dalam film ini terletak di karakternya. Jelas kalau melihat film ini akan terasa sangat menawan. Pemandangan fotorealistisnya dan karakter moe pasti adalah yang pertama kali terlihat, namun Koe no Katachi menyimpan lebih dari itu. Detil kecil seperti menambahkan grain untuk memperkaya tekstur langit memberikan pesona tersendiri. Lanskap sering dipakai untuk menunjukkan kesendirian Ishida di sini, di mana ia terjebak di lautan manusia yang membencinya.

Penggunaan depth-of-field ditekankan sangat keras di film ini. Ishida menjadi terfokuskan di antara latarnya yang dibuat blur. Colour abberation juga menjadi senjata dalam menunjukkan estetika fotorealistis, ditunjukkan dengan mesin ATM yang buram dengan sedikit warna yang terkesan rusak.

Meski saya sempat bilang ini adalah film yang menyamar sebagai anime, namun tidak disangkal bahwa sutradara Naoko Yamada tetap memasukkan trope-trope anime yang khas seperti shot yang memfokuskan ke bagian tubuh tertentu, yang sering sekali dipakai dalam anime pada umumnya. Penggunaan still langit ataupun objek-objek sepele lainnya tidak absen di sini. Unsur yang paling mencolok dalam keterlibatan trope ini adalah bagaimana adegan akhir dirancang dengan menampilkan kilasan tiap karakternya sembari Ishida memfokuskan pandangannya. Langsung teringat akan Neon Genesis Evangelion, to some extent.


Ending yang disajikan dengan rasa anime bertolak belakang dengan alur yang ada. Ishida memiliki pay-off yang sedikit klimatik, namun sebelum itu, cerita di sekitarnya terasa cukup kalem. Setelah tidur panjang Ishida, penonton akan diperlihatkan dengan konsolidasi antara dia dan kawan-kawannya. Hal perlahan mulai membaik, dan tidak ada adegan yang meriah. Saya sempat membayang bahwa film ini akan “ditarik” sampai Ishida dan Nishimiya menikah, seperti yang ada di komik yang pernah saya lihat. Entah fanfic atau tidak, tapi syukurlah tidak ada seperti itu.

Koe no Katachi tidak berakhir dengan ledakan, ia berakhir dengan harapan bahwa terkadang seseorang memiliki kesempatan untuk lepas dari dosanya.

Ishida dan teman-teman yang perlahan hadir di hidupnya berkumpul untuk bermain seperti biasa dengan Nishimiya. Namun hal buruk terjadi. Dimulai dari Ueno yang mengungkit masa lalu, percekcokan tidak terhindari. Karin mulai cerewet menyalahkan orang lain, Sahara diam tidak tahu bicara apa. Ishida pun melerai mereka, tepatnya menyela pembicaraan mereka, dan mulai mengatakan hal buruk mengenai teman-teman barunya. Satu persatu mulai meninggalkan empat itu, dan hanya menyisakan Ishida dan Nishimiya. Teman-temannya meributkan soal Nishimiya di depan matanya sendiri, dan dia tidak bisa mendengarnya. Namun satu hal yang Nishimiya tahu, bahwa Ishida telah melakukan hal buruk, memutuskan pertemanannya satu demi satu, hanya demi dirinya.

“Ini semua salahku, ya?”, Nishimiya pikir.

 

Song highlight: Hampir semua OST-nya dirancang dengan sangat elegan dan tenang (kadang jadi ingat ambient ala Radiohead atau Plaid di Tekkonkinkreet), tapi yang paling standout secara pribadi adalah kedua  ini:

Review Kacangan: The Night is Short, Walk on Girl (2017)

Masaaki Yuasa berhasil membuat kisah seorang pecundang menyenangkan untuk ditonton selama dua kali berturut-turut!!

The Tatami Galaxy itu cerita introspektif. Secara konsep cerita, pengarang berusaha mencoba menggali isi pikiran seorang pecundang bernama Watashi yang berpikir bahwa takdir ada di tangannya. The Night is Short masih memiliki darah yang kurang lebih sama, namun tokoh utama wanita yang hadir malah membuat film ini sebagai antitesis dari The Tatami Galaxy, di mana ia berpikir bahwa takdir yang justru menuntunnya kemanapun ia pergi.

The Night is Short, Walk on Girl (singkatnya The Night is Short) adalah kolaborasi kedua dari pengarang novel Tomihiko Morimi dan pembuat anime Masaaki Yuasa. Setelah seri anime 11 episode The Tatami Galaxy, Yuasa mencoba mengadaptasi kisah satu malam di suatu kota dalam film berdurasi 95 menit. Hasil yang didapat ternyata tidaklah begitu buruk. Meski dari segi durasi jauh lebih pendek, ternyata The Night is Short (singkatnya TNiS) berhasil membuat cerita yang padat dan memberikan banyak kameo di sana-sini.

vlcsnap-2017-11-27-11h24m26s29

Layaknya The Tatami Galaxy, filosofi waktu kembali hadir dalam film ini, meski dalam konsep yang berbeda. Jarum jam tangan yang dikenakan setiap tokoh di TNiS berputar dengan kecepatan yang relatif. Orang tua cenderung memiliki jam yang berputar sangat cepat karena mereka menganggap hidup sebagai satu kilatan yang cepat, dan tokoh utama kita kelihatannya memiliki jam dengan putaran paling lambat di sepanjang kota. Malam yang singkat terasa panjang ketika tokoh utama kita hadir, yang meski tidak dijelaskan asal-usul dari ini (dan sebenarnya tidak perlu), namun sensasi surealisme ini lah yang menggambarkan sifat tokoh satu demi satu.

Cerita dibagi menjadi tiga arc, yang ketiganya melibatkan tokoh Rihaku, yakni orang paling punya semuanya. Bisa dikatakan kalau ia adalah dewa. Namun, sebagai dewa, kita hanya melihat ia melakukan sesuatu yang tidak begitu menarik. Perjuangan para tokoh untuk “melawan” Rihaku pada ketiga arc ini justru menjadi sorotan utama. Yang dapat diambil dari kontrasnya kedua kubu ini terasa jelas. Hidup menjadi lebih terasa menarik ketika kita berjuang atas sesuatu. Hal ini berkaitan lagi pada konsep waktu yang diusung kisah ini. Orang yang memiliki sesuatu untuk diperjuangkan atau disyukuri dalam hidup cenderung berumur panjang, atau dalam singkatnya, menganggap tiap detik dalam hidup mereka berarti. Sebenarnya konsep relativitas waktu ini tidak diangkat dengan detil dalam film, namun bisa dibuat untuk menjadi pegangan tentang apa yang cerita ini tuju.

vlcsnap-2017-11-28-14h36m20s118

 

Film merupakan serpihan plot yang diikat dalam dua plot induk, yakni plot Otome dan Senpai. Penggambaran Otome benar-benar mengingatkan akan karakter gadis Amelie dalam film dengan judul yang sama. Tokoh yang riang dan memegang teguh ajaran dari orang tua mereka. Terkadang juga mereka bisa terlarut dalam romantisisme, dan yang terpenting, mereka percaya bahwa hidup mereka telah diatur oleh takdir. Senpai di lain sisi adalah tokoh Watashi 2.0.  Memiliki rambut acak-acakan dan seorang kawan yang setia, kedua karakter ini berusaha membuat wanita terkesan dengan cara yang terbukti tidak berhasil di situasi apapun.

Kedua plot ini tidak menunjukkan diri mereka terang-terangan, sehingga yang kita lihat memang bukan sekadar kisah cinta. Kalaupun ada satu hal yang membuat film Amelie sulit untuk ditonton, itu adalah bagaimana seluruh film terlalu berdedikasi untuk menggambarkan Amelie dengan karakterisasinya yang sesak. Hal itu tidak terjadi di TNiS. Meski tiga arc memang berfokus pada Otome dan Senpai, namun karakter seperti Todo si kolektor karya erotis ataupun pasangan Higuchi dan Hanuki (yang juga merupakan bagian cerita vital di The Tatami Galaxy) mengisi keseluruhan film ini dengan subplot mereka yang quirky juga berkesan. Kisah Otome dan Watashi bahkan baru benar-benar terselesaikan pada arc terakhir. Hal ini membuat suatu kepuasan tersendiri ketika menyaksikan klimaks cerita terjadi dalam momen yang begitu intens. Selain itu, subplot-subplot ini juga memperkaya pesan-pesan yang pengarang ingin sampaikan, di mana perjuangan dalam sebuah kisah tidak pernah dialami oleh satu protagonis saja.

vlcsnap-2017-11-27-11h31m50s156

Kuantitas karakter dalam film ini terbilang cukup meriah. Banyak wajah baru bertebaran, namun justru lebih banyak lagi wajah-wajah lama yang terlacak. Ada sekilas kameo Watashi di sini, jelmaan Ozu menjadi tokoh yang cukup berpengaruh di salah satu arc, Higuchi dan Hanuki menjadi dua tokoh yang berpengaruh pada ketiga arc, dan Jougasaki serta Kaori juga muncul dalam kilasan-kilasan yang memuaskan. Science Saru selaku studio pun juga sempat-sempatnya menyematkan ketiga protagonis utama film orisinal pertama mereka, Lu over the Wall, dalam film ini. Penampilan utama, bagaimanapun, hadir dari tokoh legendaris Johnny. Bagi kalian yang belum mengikuti The Tatami Galaxy sebelumnya, Johnny adalah gambaran hasrat hewani seorang lelaki yang tampangnya mirip Sherriff Woody KW.

Ketika tokoh Johnny muncul, kita tahu akan ada sesuatu menggemparkan yang terjadi. Meski begitu, penampilan Johnny dalam TNiS tidaklah sespektakuler saat di The Tatami Galaxy, karena Johnny hanyalah manifestasi Senpai pada saat yang tidak begitu menimbulkan konsekuensi berarti.

Tidak hanya Johnny yang mengecewakan, namun beberapa subplot lain tidak habis dibahas. Di balik direksi seni yang tidak mungkin diragukan lagi seorang Masaaki Yuasa, ada beberapa cerita yang tiba-tiba hilang di tengah jalan. Entah karena durasi, atau memang hanya diceritakan sejauh itu di novel, tetapi hal ini cukup disayangkan.

vlcsnap-2017-11-27-11h54m10s232
Perjuangan Watashi dalam The Tatami Galaxy terpampang dalam banyak sekali layar.

Hal yang sulit dimengerti sepertinya merupakan hal wajib dalam karya Tomihiko. Unsur-unsur layaknya organisasi mafia pencuri sepeda maupun sasana olahraga panjat dinding dengan payudara sebagai pengganti batu pijakan adalah satu hal, tetapi konsep lain seperti nenek pemutar waktu ataupun si kakek tua Rihaku yang punya segalanya dan mengatur cuaca di sekitarnya memiliki ciri khasnya sendiri. Kisah Tomihiko menjadi lebih berwarna dengan adanya bagian-bagian absurd yang berbau sangat art-house ini.

Anehnya lagi, justru bagian-bagian absurd ini yang membangun plot menjadi koheren dan kocak. Kisah pseudo-agen mata-mata dalam arc dua yang membuat hal menjadi masuk akal pada akhirnya, atau saat Otome didatangi tiba-tiba oleh kutu buku yang bicara panjang lebar soal menikahi orang yang tidak dicintai dan ternyata ia sedang patah hati. Eksekusi komedi dalam kedua film ini selalu hadir dari set up yang tidak pernah masuk akal, namun ketika kalian bicara “oh” (baik dalam hati maupun tidak), di situ lah punchline nya hadir, dan hal absurd lainnya justru malah semakin bermunculan. Ini adalah lingkaran setan, yang kebetulan setan kali ini adalah orang yang cukup humoris.

vlcsnap-2017-11-27-11h28m14s50vlcsnap-2017-11-27-11h28m27s174

Wah, daritadi belum bahas art-nya, ya? Singkat saja. Sama seperti The Tatami Galaxy, semua hal ditangani dengan perhatian yang cukup hebat. Adegan flashback tidak pernah membosankan, adegan figuratif tidak pernah membosankan, adegan eksposisi tidak pernah menjemukan, dan seluruh film tidak pernah menjemukan. Selalu ada trik baru yang dituangkan untuk menyampaikan unsur cerita melalui visual yang minimalis namun sangat fokus ini. Beberapa adegan dalam TNiS pun disematkan pewarnaan fotorealistis di tengah minimalnya unsur visual lainnya yang mengambil spotlight tersendiri. Suatu hal baru dari The Tatami Galaxy yang sering menggunakan rekaman dunia nyata (bukan berarti apa yang dilakukan TTG buruk juga, sih).

vlcsnap-2017-11-27-11h49m44s177

 

Pada saat lagu Kouya wo Aruke bawaan Asian Kung-fu Generation diputar, saya tahu ini adalah kisah yang cukup spesial. Sama seperti The Tatami Galaxy, ini bukan kisah romantis yang cukup baik, jika tujuan Tomihiko adalah untuk membuat kita maju dan berusaha. Film ini memang cukup padat (bahkan review sepanjang ini belum dapat merangkum semua unsur dalam film ini) dan juga merupakan pengalaman yang menyenangkan, namun kisah ini terasa di luar jangkauan. Meski terkadang film ini nampaknya berusaha menampar tipe-tipe orang seperti saya di beberapa peristiwa, TNiS masih tetap terasa seperti eskapisme yang menyenangkan sekaligus meninggalkan rasa pahit ulu hati. Saya juga sedikit heran kenapa saya menikmati kisah cinta seperti ini. Bukannya hati saya sudah mati sejak lama?

This movie is story of a virgin told in most stylish way possible.

 

Review Kacangan: The Tatami Galaxy (2014)

Cukup berhenti menjadi egois, dan pikirkan kalau orang lain jugalah Watashi mereka masing-masing dalam hidup mereka.

Masa kuliah, baik bagi yang mengalami maupun sedang atau telah, dianggap sebagai masa pendewasaan diri yang sejati. Entah bila ciuman pertama kalian saat SMP, ataupun masa merokok pertama kalian adalah di balik halaman SMA, kuliah tetap memegang kesan janggalnya sendiri. Masa libur banyak, kaderisasi yang kadang berkesan, saat-saat kepanitiaan, atau bahkan belajar kelompok sekalipun, semuanya memiliki tempat di kenangan, setidaknya cukup untuk mengecap ulang rasa yang berbeda pada tiap waktu. Itu, atau ketika kalian jarang melakukan aktivitas di atas dan hanya bersantai sepanjang waktu bersama teman dengan bicara genit soal wanita di kelas kalian. Itu, atau ketika kalian menghabiskan waktu menonton film atau mendengarkan musik kemudian menulis pendapat kalian soal karya tersebut sesekali. Banyak kemungkinan yang bisa dilakukan, apalagi kalau mahasiswa tidak tinggal bersama orangtua mereka lagi. Selain itu, kuliah adalah salah satu hal berkesan karena jaraknya berdekatan dengan masa mandiri yang membuat kalian mau tidak mau harus menentukan tempat di tatanan sosial membuat masa kuliah jadi masa yang harus dihidupi sebaik mungkin untuk sebagian besar mahasiswa.

Watashi menganggap masa kuliah akan berjalan sesuai keinginannya, berseri dengan warna mawar di mana ia menjadi tokoh utama dalam kisah cintanya dengan gadis berambut hitam terurai panjang. Kesebelas episode The Tatami Galaxy berusaha mengungkap apa yang harusnya dilakukan Watashi untuk mendapatkan impiannya itu, meski pada akhir episodenya dua tahun selalu habis sia-sia. Ini adalah anime soal kemungkinan yang merupakan rute kehidupan dengan pilihan bervariasi yang tokoh utama ambil. Anggap saja sebagai Amagami SS dengan tokoh utama jomblo atau apapun.

mpc-hc 2017-05-26 10-33-03-87

Di sepanjang seri ada sedikit simpati yang muncul. Penulis merupakan mahasiswa dalam semester 4-nya – pada saat ini ditulis – dengan tempurung kaki kirinya yang retak, menyebabkan ia harus melewatkan sebagian besar masa UTS-nya. Kehidupan kuliah baginya adalah hal yang sedikit berlebihan, dan melihat bahwa “petualangan” yang dialami Watashi jauh lebih baik dari apa yang ia alami dua tahun terakhir. Tentu ada gemerlap kecil dari masa kuliah yang ia akan rindu, tapi di saat yang sama keinginan untuk menerima sesuatu yang lebih dari yang ia rasakan tidak akan pernah berhenti. Padahal yang perlu ia lakukan hanya mengambil langkah pertama pada setiap hal baru. Masalah terbesar adalah ia sok tahu akan apa yang terjadi setelah mengambil langkah pertama itu, dan hal yang sama adalah gejolak dari Watashi.

Dalam lima episode pertama, The Tatami Galaxy berkutat pada usaha Watashi mengikuti organisasi berbeda-beda di tiap episodenya yang berujung pada kegagalan yang kurang lebih sama. Penonton yang ingin menikmati jalur cerita yang sulit ditebak mungkin akan merasa kecewa pada rangkaian episode ini, terutama yang merasa gemas dengan tingkah Watashi yang tidak pernah belajar dari kesalahannya (yang tentu saja begitu karena ia secara teknis tidak pernah mengalaminya. Kita hanya menonton kemungkinan berbeda dari jalan hidup Watashi). Mulai dari klub tenis, sinematografi, sepeda, hingga berguru pada kakak tingkatnya untuk melakukan sesuatu yang dinilai kurang penting pun tetap saja berujung sama: Watashi kurang puas atas dua tahun masa kuliahnya.

mpc-hc 2017-05-26 10-38-39-17

Dalam tiap episode ada beberapa hal yang tidak berubah. Elemen-elemen kecil seperti hadiah berupa kue Castella di kamarnya atau warung ramen Neko yang hampir di setiap episode akan ditemui, maupun pertemuannya dengan karakter-karakter seperti Ozu, sesosok makhluk yang tampaknya petaka bagi Watashi – kita akan bahas lagi nanti –, Akashi yang merupakan “tujuan akhir” sebenarnya di kisah ini, dan beberapa karakter lain mewarnai kisah tokoh utama. Watashi tidak pernah benar-benar sadar bahwa hidupnya tidak begitu suram. Fakta bahwa butuh banyak rentetan kata untuk menggambarkan situasi yang runyam dalam kehidupannya adalah satu bukti. Tidak banyak orang yang mengalami pertemuan dengan adik tingkatnya cukup intim untuk berjanji atas sesuatu, ataupun memiliki ambisi besar untuk melawan si diktator payudara Jougasaki melalui film-film buatannya.

Kesedihan Watashi terasa masuk akal ketika ia tahu hidupnya terbuang sia-sia untuk hal yang ia inginkan. Tapi bukan itu masalahnya. Watashi, di setiap episode, mengalami hal yang menarik. Ia tidak pernah sadar atas kesempatan yang sejati, yang digambarkan dalam seri hanya dari durasi maksimal 30 detik dengan menatap boneka Mochiguma yang tergantung bersama lampu remang di kamar kosnya. Ia tidak pernah sadar atas hal itu, melainkan terfokus pada hal yang bertujuan menurutnya akan memberikan kepuasan yang sama dengan masa kuliah yang berseri. Namun peristiwa yang Watashi alami justru ia anggap sebagai “kegagalan” masa kuliahnya, dan itu yang membuat ia sama seperti penonton yang menginginkan akhir yang menarik atau mungkin setidaknya tidak se-antiklimaks apa yang disajikan di tiap episode. Mereka tidak puas.

mpc-hc 2017-05-26 10-36-01-05

Penulis mungkin agak terpukul pada episode 10. Filosofi kamar tatami – begitu sebutannya – dalam episode ini sungguh menarik. Di sini, bukannya Watashi ingin mengikuti suatu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) untuk mencari gadis impiannya, ia justru berdiam diri di kamarnya selama kebanyakan masa kuliah. Si tokoh bukannya orang yang ekstrovert – digambarkan di lima episode pertama – ataupun memiliki hal untuk dibanggakan kepada teman-temannya, tapi sejauh kemampuannya, ia berhasil berteman dengan orang-orang yang ia anggap tidak terlalu penting karena tujuannya bukan berteman. Bisa dikatakan sosiopat pada level tertentu, mungkin. Bagaimanapun, di episode 10, ia benar-benar tidak berteman dengan Ozu, Akashi, maupun yang lain, melainkan membahas soal pandangannya tentang kamar tatami dan mengapa ukuran 4,5 adalah yang terbaik menurutnya. Di sini ia menyerah untuk memahami orang lain. Bersosialisasi adalah hal yang aneh menurutnya, karena ia punya dirinya sendiri untuk dimengerti di sepanjang episode. Ini adalah episode tentang keputusasaan dan introspeksi diri. Episode tentang “aku di alam semesta yang ini pasti menyenangkan” atau “andai saja aku seperti ia”, padahal nyatanya andai-andainya itu adalah kehidupan yang sama seperti yang ia alami, hanya saja Watashi selalu menganggap “kebun sebelah” memiliki kehidupan yang lebih baik.

Nyatanya aku selalu melihat kegagalan yang ada di dalam diri dan bukannya melihat gajah di dalam ruangan. Ketika melihat ke belakang akan mengingat kejadian yang menyenangkan untuk diingat padahal kita sama sekali tidak bersyukur pada hal itu di saat itu terjadi. Nyatanya, aku hanya menganggap bahwa hidup hanya soal aku dan aku seperti bagaimana Watashi menganggapnya. Ozu di pikirannya hanyalah pengganggu, tokoh yang perlu sebisa mungkin dijauhkan dari hidupnya. Sebenarnya Ozu merupakan tokoh yang lebih dari seorang pengganggu, melainkan memiliki sisi yang tidak pernah diketahui Watashi sebelumnya. Perlu suatu keajaiban absurd bagi Watashi untuk menyadari hal ini.

 

mpc-hc 2017-05-26 10-28-59-23

Perlu terjebak di kamar tatami tanpa ujung bagi Watashi untuk menyadari kalau orang-orang di sekitarnya juga punya ambisi, masa lalu, masalah, dan bukannya hanya penghias plot di kehidupannya yang sebenarnya terlalu menyedihkan untuk dijadikan seri. The Tatami Galaxy adalah pengingat bahwa kita sebenarnya tidak perlu mengejar hidup yang terlalu klise dan penuh keasingan di dalamnya. Masa kuliah yang berseri tidak akan pernah ada karena kita tidak akan pernah menemui variabel yang sempurna untuk mewujudkannya. Secara umum, The Tatami Galaxy ingin menyadakarkan kita hal ini tanpa perlu terjebak di kamar tatami tanpa ujung.

mpc-hc 2017-05-26 10-36-36-92

Aku rasa kadang Watashi menggambarkan aku. Tentu kisahnya lebih menghibur dan sebenarnya tidak terlalu buruk untuk dialami, tetapi soal kesempatan yang menunggu untuk diterima. Mungkin sebenarnya setiap orang ditakdirkan untuk menjadi apa yang ia sebenarnya bisa, dan mungkin sebagian besar mereka mengalami akhir yang indah, tapi di titik ini apa yang sebenarnya bisa dilakukan? Apa hidup hanya untuk memaklumi kesempatan yang terlewat, atau justru menciptakan kesempatan sendiri seperti yang Watashi lakukan? Entahlah, aku bukan Watashi. Hidupku hanya sekali dan 19 tahunnya sudah terlewat, for better or worse.

Hidup adalah untuk menghargai teman, mungkin begitu. Aku adalah anak yang sering berpindah tempat tinggal. Aku bisa dibilang mengenal banyak orang di kehidupanku, tetapi mungkin semua terasa kulupakan. Aku hampir tidak berhubungan lagi dengan kawan SD-ku atau SMP, tapi siapa yang tidak? Masalah besarnya adalah ketika pemancing bahkan tidak pernah berusaha untuk melempar kailnya. Ia hanya menganggap bahwa lautan hanya suatu tempat untuk diarungi, dan dengan kesempatan kecil ia berharap ikan akan masuk dalam kapalnya satu-persatu. Pemahaman diriku kurang, kuyakini itu, dan soal teman yang datang silih berganti bukanlah definisi dari rasa bahagianya.

(I don’t know why there is this big-ass space in here)

 

 

 

mpc-hc 2017-05-26 10-32-36-29

Untuk mengakhiri, The Tatami Galaxy tidak bisa dibilang sebagai pedoman masa kuliah yang baik. Setting-nya yang digambarkan dengan penuh saturasi dengan tujuan menghibur penonton adalah salah satu alasannya, namun yang hal yang paling tidak perlu ditiru adalah bagaimana cara tokoh utama mencari rasa bahagia tersebut. Tidak perlu jadi Watashi dengan Akashi-nya maupun peramal yang menunjukkan kalau ada hal yang perlu dikejar dalam hidup masing-masing untuk tahu tujuan yang sebenarnya. Cukup berhenti menjadi egois, dan pikirkan kalau orang lain jugalah Watashi mereka masing-masing dalam hidup mereka. Karakter yang kalian ajak bicara bukanlah NPC untuk menyelesaikan misi utama. Misi utama justru terletak pada teman-teman kalian, dan niscaya langkah pertama merupakan obat mujarab untuk lepas dari kekangan yang saya atau kalian rasakan.

 

I wish it would be that easy.

 

Review Kacangan: Neo Yokio (2017)

Kota terbaik di Bumi? Lebih mirip anime terhancur di Bumi. Haha… Gak juga sih.

Kalian sudah tahu ini apa. Neo Yokio, kota terbaik di planet Bumi!

Sebelumnya, ada dua hal utama yang perlu didepankan dalam anime ini sebelum mengenal lebih jauh:

  1. Gedung World Trade Center tidak roboh, tapi tenggelam (kayaknya ini referensi Neo Tokyo-nya Akira, sih)
  2. Soviet Rusia masih berjaya, bahkan ikut dalam ajang balap internasional

Langsung saja.

Mulai dari mana ya?

22017034_10209683886043740_43100016_o

Iya, Jaden Smith jadi tokoh pengisi tokoh utama di anime ini, Kaz Kaan. Rekan robot Kaz, Charles, disulih suara oleh Jude Law, bibinya oleh Susan Sarandon, dan musuh utamanya oleh Steve Buscemi. Nama-nama yang cukup terkenal di dunia perfilman bisa masuk dalam serial jelek ini.

Oke, setelah itu apa ya?

Plotnya berkutat soal Kaz seorang magistocrat (magician aristocrat) yang harus menjaga strata sosialnya. Jadi, di pusat kota, ada semacam menara yang memperlihatkan siapa pemuda paling tenar, dan dia harus berlawanan dengan pemuda Arcangelo Corelli dalam merebut tahtanya. Oh iya, selain itu dia juga harus mengusir iblis. Konstruksi sosialnya hampir mirip Fairy Tale, kalau dilihat-lihat, tapi ini adalah Neo Yokio. Tiada dua.

Singkatnya, anime ini secara teknis hancur. Sulih suara dari Jaden tidak jarang tampil monoton, juga ekspresi wajah para tokoh yang tidak cocok dengan intonasi mereka. Animasinya hampir setara dengan Bloodivores (Ya Tuhan, jangan ingatkan aku) namun dengan line art yang tidak terlalu buruk. Ada pun yang terburuk dari semuanya, itu adalah plotnya yang tidak tahu ingin ke mana. Banyak yang tahu kalau ini hanya parodi, atau satir, atau guyon, tetapi katanya kalaupun ancur meski buat bercanda, tetap saja hancur. Masa, sih?

Hal ini berdampak pada orang yang melihat sebelah mata seri ini karena kualitas produksinya yang jelek, terlebih karena ini digambar dalam gaya khas animasi Jepang. Penonton anime zaman sekarang menuntut kualitas dalam kartunnya, seperti anime yang sedang tayang pada penghujung musim ini yang terkenal adalah anime isekai nomer 342 dan anime harem adaptasi novel visual nomer 3321, tentu benar-benar sesuatu yang aneh untuk menemukan anime sehina Neo Yokio.

Namun memang perlu diperhatikan kalau parodi tidak melulu mesti jelek. Buktinya, Fooly Cooly, dirilis tahun 2000 ini memiliki kualitas animasi yang masih bisa dinikmati dengan legowo sampai saat ini. Neo Yokio akan memiliki kelemahan di tahun mendatang karena kualitas teknisnya, namun selama orang masih melihat anime ini dalam kacamata parodi, tidak ada yang terlalu mengganggu.

22068916_10209683671478376_1977492396_o

Perlu diketahui bahwa Neo Yokio hadir dengan mindset kebaratan. Mungkin ada beberapa lelucon yang kelihatannya bakal muncul di serial Jepang seperti ekspresi muka yang berlebihan, kenyataan pahit soal  Charles si pembantu robot, atau sebagainya. Bagaimanapun, Neo Yokio muncul dengan dialog seperti “Hidup komunisme” maupun “Menang atau kalah, derajat kita sama di kuburan.” yang akan jarang ditemukan di serial anime biasa. Pandangan sosio-politikalnya juga merupakan salah satu yang memberi bumbu pada seri ini. Di salah satu episode, ada parodi dari Ranma 1/2, namun mereka mengambil keputusan untuk menyisipkan sedikit humor tentang feminisme dan LGBT yang masyarakat Barat sedang heboh-hebohnya tanggapi di dekade ini, atau ketika beberapa tokoh berargumen soal kesuksesan musisi yang hanya ditelaah dari berapa banyak album yang ia jual. Hal ini didukung penyampaian yang benar-benar kartun komedi barat seperti Adventure Time maupun serial-serial di Adult Swim, sehingga sekali lagi, Neo Yokio hadir dengan mindset kebaratan. Toblerone.

Kritik sosial juga berlanjut pada plot utamanya, yang semena-mena tiba pada perjuangan seorang kritikus fesyen yang insyaf semenjak kerasukan arwah halus, sehingga menjadi kaum proletariat yang benci pada kota Neo Yokio. Entah bagaimana, absurditas seri ini bisa mengendalikan ceritanya jadi sedemikian rupa. Tidak hanya itu, banyak juga referensi fesyen yang mungkin akan menyangkut bagi para penggiatnya. Nama-nama terkenal seperti Louis Vuitton dan Coco Chanel disampaikan sebagai lelucon yang cukup baik dalam anime ini. Mungkin bukan nilai daya tarik utama, namun setidaknya seri ini tahu apa yang sebenarnya ingin ia kritiki: budaya hedonisme dan tatanan kelas yang cukup mengekang.

Meski begitu, pada akhir seri, entah mengapa, hal berubah menjadi agak serius. Memang adalah hal yang lazim untuk menempatkan cliffhanger pada seri yang masih berjalan agar penonton penasaran akan kelanjutan cerita, namun untuk sebuah anime yang tidak ingin terlalu serius, hal ini terasa agak kontradiktif. “Jadi kalian ingin kami menganggapi cerita kalian dengan serius atau sebaliknya?” muncul dalam benak. Apa daya, hal ini tidak bisa dihindari. Maksudnya, karena seri kecil seperti ini masih butuh sokongan dana untuk melanjutkan keberlangsungannya, mau tidak mau harus mengesampingkan norma ini. Tentu ada cara lain untuk mengakhiri episode ke-6 dengan cara yang lebih komikal, tapi ini cukup baik, kok. Hanya agak sedikit janggal saja.

22016861_10209683883243670_1791087906_o

Orang-orang memiliki kesempatan untuk menonton serial ini. Memiliki kendala? Tentu. Memiliki kontroversi antara apakah ini anime yang baik dalam bersatir atau tidak? Tentu. Apa katanya membuat cringe? Mungkin. Namun, sejak humor adalah subyektif, dialog-dialog seperti di bawah mungkin dapat meyakinkan pada Anda lebih dari apa yang saya ketik sebanyak ini.

 

Beberapa kata tambahan:

Saya rasa kebencian terhadap seri ini tidak jauh berbeda dari whitewashing. Andai saja orang Jepang yang membuat karya parodi semacam (contoh: Anime kebanggan Trigger Ninja Slayer, Cromartie High, Mr. Ando of the Woods), atau jika saja Ezra Koenig dkk. membuatnya dalam animasi kebaratan, maka kontroversinya tidak begitu keras. Orang-orang hanya perlu melihat sesuatu dari kacamata yang berbeda, meski tentu preferensi tetap terserah masing-masing.

Review Kacangan: Death Note (2017)

It’s certainly better than Dragon Ball Evolution. Everything is better than that, actually.

Meski begitu menyentak, cerita yang dihadirkan Death Note diubah dengan penceritaan yang tidak begitu rapi.

Lanjutkan membaca “Review Kacangan: Death Note (2017)”

Review Kacangan: Kimi no Na wa (2016)

Sejauh tak sempurnanya, Kimi no Na wa tetap memiliki kesan yang sulit untuk ditinggalkan selama beberapa saat.

Komunikasi adalah hal terpenting dalam drama. Makoto Shinkai tak jarang membawakan tema komunikasi secara umum dalam karya-karyanya. Penggunaan media modern seperti handphone maupun yang tradisional seperti menulis melalui surat adalah kedua bagian dari unsur yang Shinkai sering pakai.

kimi-no-na-wa-2016-hdrip-720p-hc-eng-sub-aac-x264.mp4_snapshot_00.26.32_[2017.08.12_18.42.04]

Komunikasi yang berfungsi sebagai penyambung antara dua subjek ini tidak pernah begitu bersifat langsung dalam arahan Shinkai. Meskipun bersifat dua arah, interaksi yang dihadirkan tidak pernah terbalas dengan waktu yang singkat, bahkan tidak sama sekali. Ambil contoh Voices of a Distant Star yang memaksa tokoh utamanya harus bertukar pesan dengan kekasihnya dengan jarak waktu hingga 8 tahun lebih, atau Takeru dalam film 5 cm/s yang surat menyurat dengan pujaan hatinya, Akari, namun tidak berhasil menyampaikan perasaannya yang sejati kepada Akari pada hari terakhir pertemuan mereka. Apa tadi saya bilang “komunikasi”? Mohon diralat, kasih tak sampai adalah istilah yang lebih cocok.

Namun dalam Kimi no na wa, meskipun masih terasa sedikit sesak, cerita cinta antara kedua karakter bukanlah hal yang harus ditangisi. Justru karena tonalnya yang tidak sesuram film lain arahan sutradara Makoto Shinkai, Kimi no Na wa mendapatkan keuntungan untuk tidak terlalu fokus pada kesedihan karakter semata, namun bisa menggali dalam sisi intrapersonal Taki dan Mitsuha, seperti interaksinya dengan keluarga dan teman-teman dalam mencari kebenaran dari anomali mereka.

Taki dan Mitsuha adalah siswa dan siswi SMA yang mengalami anomali dalam tubuh mereka. Pada kesempatan yang tidak menentu, mereka bertukar tubuh tepat setelah bangun tidur. Tidak pernah ada penyebab jelas dari fenomena ini, dan tidak ada petunjuk yang jelas juga dari cerita untuk memberikan petunjuk pada penonton. Secara pribadi saya tidak mengambil pusing hal seperti ini. Asal premisnya ditangani dengan tidak menyinggung soal asal muasalnya terlalu banyak dan lebih berfokus pada pengalaman tokoh terkait hal ini adalah sesuatu yang mudah sekali “diabaikan”.

kimi-no-na-wa-2016-hdrip-720p-hc-eng-sub-aac-x264.mp4_snapshot_00.43.07_[2017.08.12_12.53.36]

Namun beberapa unsur cerita justru terasa lemah pada daging cerita di saat mereka bertukar tubuh (baca: plothole). Contoh utama adalah ketika salah satu plot-twist dibuka dalam pertengahan cerita, tentunya ada hal yang sebenarnya dapat dilakukan tokoh utama untuk mengetahui hal ini lebih awal, seperti interaksi dengan teman sekelas mengenai peristiwa yang sudah lalu atau akan terjadi. Tentunya mereka akan tahu lebih jelas soal waktu yang mereka tempati. Alasan seperti kalau mereka “terasa bermimpimungkin masuk akal, namun ketika salah satu tokoh memutuskan untuk berkencan dmelalui tubuh yang bukan punyanya, bukankah kalenderadalah hal yang cukup penting untuk diperhatikan untuk menentukan waktu berkencan meski hanya lewat handphone? Ada pula yang mengungkit soal kejatuhan meteor yang benar-benar tidak mungkin terjadi dua kali di tempat yang sama secara beruntun, meski berjarak 1200 tahun. Kalau itu saya angkat tangan. Meski fiksi ilmiah Makoto Shinkai jarang terasa matang, namun untuk yang meteor ini saya angkat tangan.

Pembuka film terasa kental dengan apa yang biasa disebut opening pada serial anime, di mana lagu berdurasi 90 detik digunakan untuk memperkenalkan plot anime secara ringkas. Lagu Yumetorou karangan RADWIMPS dipilih untuk melengkapi opening ini, setelah sebelumnya diisi dengan potongan adegan rancu yang berpuncak pada pengungkapan judul film. Panning kamera memutari pandangan tokoh yang dari pandangan datar menuju ke angkasa, dilanjutkan dengan lagu upbeat RADWIMPS membuat pembuka yang menggugah semangat. Ini adalah pertama kalinya Makoto Shinkai menggunakan lagu bertempo semangat untuk membuka kisah ketimbang piano lembut dari Tenmon.

kimi-no-na-wa-2016-hdrip-720p-hc-eng-sub-aac-x264.mp4_snapshot_01.37.58_[2017.08.12_15.20.40]

Hal yang unik lainnya adalah minimnya eksposisi dalam film ini. Penceritaan melalui dialog lebih ditekankan, terutama menyangkut pertukaran tubuh mereka. Ketika mereka bertukar badan, bahasa tubuh Mitsuha yang sedcara masuk akal menunjukkan femininitas dalam tubuh Taki, sebaliknya untuk Taki. Logat yang kedua remaja ini gunakan juga saling menyesuaikan tergantung jati diri mereka yang sebenarnya. Juga saat kedua tokoh menyesuaikan diri, yang keluar dari mulut mereka hanyalah ucapan kebingungan pada orang di sekitar mereka. Harapannya, sih, Taki atau Mitsuha akan bicara dalam hati soal bagaimana suasana lingkungan baru mereka, soalnya melihat film-film arahan Shinkai yang kerap bersifat instrospektif. Harapan dan yang terjadi sama-sama bagus, kok.

kimi-no-na-wa-2016-hdrip-720p-hc-eng-sub-aac-x264.mp4_snapshot_00.19.48_[2017.08.12_12.26.10]

Pemandangan kota yang tidak terasa jauh berbeda dengan film-film Shinkai sebelum dapat menjadi salah satu ciri khas, namun sampai saat ini saya lebih melihatnya sebagai stagnansi ketimbang ciri khas. Memang ada teknik animasi yang dioptimalkan untuk membangun ciri khas yang baru, namun ini tidaklah semata-mata melepaskan posisi Kimi no Na wa sebagai film yang sudah pernah dibuat sebelumnya, terutama ketika unsur ceritanya terasa banyak menyomot dari film beliau lainnya seperti yang diterangkan oleh nyaakapu dalam ulasannya. Ia menyatakan begini:

Sebagai penonton yang sudah lama mengikuti karya-karya Shinkai, Kimi no Na Wa terasa seperti campuran konsep-konsep dari beberapa karya beliau sebelumnya. Kalau mau dijabarkan, Kimi no Na Wa merupakan kisah fantasi dengan nuansa pedesaan dan dreamy ala Hoshi no Ou Kodomo (The Children Who Chase After Lost Stars, 2011) dengan hubungan asmara dengan karakter perempuan lebih tua seperti Kotonoha no Niwa (The Garden of Words, 2013), konflik paralel waktu ala Hoshi no Koe (The Voice of Stars, 2002), konsep bencana saintifik ala Kumo no Mukou (The Place Promised in Our Early Days, 2004), serta konsep kehidupan karakter-karakter remaja seperti beberapa film lainnya, termasuk Byousoku 5 Centimeter (5 Centimeter per Second, 2007). Perbedaan utamanya tentu adalah “kecerahan” dari Kimi no Na Wa.

Mungkin ini bisa jadi barometer bagi penggemar karya Makoto Shinkai yang ingin menonton film ini. Kimi no Na wa tidak jauh beda dengan karyanya yang sebelumnya, namun cukup berbeda untuk menyaksikan pergesaran dari makna cerita yang ia coba sampaikan, yakni lebih terkesan optimis, meski sentimen-sentimen seperti kehidupan kota yang menjemukan tetap muncul dalam karyanya. “Cinta adalah penggerak di tengah ketakberdayaan manusia dalam menjadi bebas” mungkin adalah salah satu yang beberapa dari filmnya coba sampaikan. Mungkin.

kimi-no-na-wa-2016-hdrip-720p-hc-eng-sub-aac-x264.mp4_snapshot_01.36.17_[2017.08.12_15.18.59]

Sejauh tak sempurnanya, Kimi no Na wa tetap memiliki kesan yang sulit untuk ditinggalkan beberapa saat. Chemistry antara Taki dan Mitsuha yang nyaris tidak pernah bertemu ini menimbulkan renungan tersendiri, tentang betapa bisa dekatnya manusia satu sama lain meski tidak pernah mempelajari satu sama lain lewat ucapan dari yang bersangkutan secara langsung, melainkan bagaimana sekitar menganggap diri mereka (Taki dan Mitsuha) sebagai seorang seorang individu. Memanfaatkan konsep bodyswap sebagai hal yang lebih dari sekadar mengetahui jati diri pribadi, yakni belajar mengenai satu sama lain adalah kekuatan utama Kimi no Na wa, dan mungkin yang terbaik yang telah dicapai dari filosofi antara cinta dengan keterbatasan ruang dan waktu oleh Makoto Shinkai.

Plot Analysis: Mob Psycho 100 Episode 3

Ternyata karakter Shigeo bukan hanya tidak memiliki emosi, justru sebaliknya.

DISCLAIMER: Analisa ini hanya didasarkan oleh seri anime saja. Saya sebagai penulis tidak pernah membaca manga-nya dan mencoba mengulik cerita yang disajikan lwat seri anime.

Sedikit dari anime dari musim ini (berlaku untuk musim lainnya) yang dapat menarik hati sehingga saya menunggunya tiap minggu. Tentu saja banyak dari anime yang hadir setiap musim menghadirkan hal-hal yang baru, dan baik, dan menyenangkan, dan pokoknya membuat kalian tertarik yang saya lewatkan. Mungkin karena impresi pertama soal art-style, premis, atau bahkan hal ekstrinsik seperti studio pembuat anime tersebut membuat saya mengurungkan niat untuk menontonnya. Seringkali saya salah menerka, atau bisa dibilang kelewatan momen bagus dari anime yang saya acuhkan, tapi ya, kesan pertama tetaplah kesan pertama. Tentunya rekomendasi teman dan perbincangan di forum bisa jadi masukan baik untuk menentukan anime yang saya akan ikuti, tapi saya lebih suka maraton anime tertentu kalau serinya sudah berakhir. Semua kembali ke pribadi.

Kasus khusus berlaku untuk Mob Psycho 100.

mpc-hc 2016-07-29 11-35-09-47.png

Secara singkat, Mob Psycho 100 berpusat pada cerita bocah SMP Shigeo Kageyama dan cara ia mencari jati diri sebagai bukan hanya siswa biasa, tetapi juga Psyche, yakni orang yang memiliki kekuatan supranatural untuk kontak dengan arwah spiritual.

Tiap episode dari Mob Psycho 100 mengambil prinsip tematik, yang artinya memegang tema tertentu, dalam arti lain memiliki kerangka utama cerita yang akhirnya berujung pada kesimpulan tertentu. Memiliki prinsip seperti ini bukan berarti ceritanya berkesan episodik. Awal episode ketiga Mob Psycho berhubungan dengan akhir episode sebelum yang mengajak Shigeo sebagai karakter untuk menentukan jalan hidup yang menurutnya akan menuntun ke impian tertentu, dalam kasus ini berpacaran dengan gadis impiannya. Shigeo memutuskan untuk ikut klub binaraga yang dalam pikirannya bisa membuatnya jadi kekar dan digandrungi banyak wanita. Tetapi baru saja di awal episode, kakak kelasnya yang bernama Kurata langsung bilang dengan tegasnya “Percuma kamu jadi kekar, gunakanlah kemampuan telepatimu.” Ya mungkin sebaiknya kita (terutama Shigeo) tidak menuruti perkataan dari wanita yang agak gila ini (impian utama Kurata adalah berbicara dengan alien), namun dalam sisi lain ia sudah mengakhiri pertanyaan yang muncul di episode ini: Apakah keindahan fisik saja cukup? Skakmat, lagu ending bisa dimulai, sampai jumpa minggu depan!

mpc-hc 2016-07-29 11-32-27-96.png

Ternyata tidak. Shigeo pulang dari sekolah, berjalan dan sambil memikirkan perkataan dari Kurata, tiba-tiba ditemui sosok bertopeng dengan raut wajah tertawa. Singkatnya, mereka adalah dari sekte khusus bernama LOL di mana semua pengikutnya tertawa dengan ceria, salah satu hal yang Shigeo belum pernah lakukan selama tiga episode ini berlangsung.

Singkatnya lagi Shigeo diundang ke dalam klub ini, dengan tujuan ia akhirnya akan bisa tertawa pada akhirnya. Semua usaha telah dikerahkan untuk mewujudkan itu, terlebih hingga sang kepala sekte Dimple (yang merupakan roh) pun turun tangan. Dan iya, saya belum bilang, sekte ini sebenarnya mengerikan meski dari tujuan utamanya terkesan baik, yang ingin membuat orang tertawa dan bahagia.

Tidak heran dia mau curi muka orang.

Pertarungan emosional antara Shigeo dan Dimple memberi saya ingatan soal salah satu adegan di Avatar: The Legend of Aang, berpusat pada pertemuan antara Aang dan Koh si Pencuri Wajah. Koh memiliki kelemahan tersendiri. Dia hanya bisa mencuri wajah seseorang ketika seseorang itu menunjukkan ekspresi lewat raut wajahnya. Aang sebagai sosok yang terpojok di sini tentu saja berusaha untuk menyembunyikan emosinya untuk beberapa saat dengan tujuan untuk mendapat informasi tertentu dari Koh. Di dalam Mob Psycho 100 juga terjadi hal yang cukup mirip, hanya saja dengan pengandaian begini: Bagaimana kalau yang terpojok di sini justru si Pencuri Wajah itu, si Dimple?

mpc-hc 2016-07-29 11-32-56-40.png

Dimple di sini benar-benar berusaha untuk mendapatkan meski hanya senyuman dari wajah Shigeo yang akhirnya di episode ini ditunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak bisa menampilkan emosinya dengan konsekuensi kekuatannya jadi tidak terkendali. Jadi sebenarnya dalam hal ini Shigeo berusaha untuk menahan emosinya. Tapi hal utama yang membuat ia akhirnya mengeluarkan kekuatannya adalah saat Dimple bicara soal “jadi peka”, yang mengingatkan akan gadis idamannya dulu. Shigeo bukanlah orang yang peka soal perasaan, dan ia menyadarinya. Ia bukan orang yang benar-benar hebat soal perasaan, yang menyudutkan kita pada premis awal episode ini: Apakah keindahan fisik saja cukup? Ia hanya ingin bertarung di tempat yang ia yakin bisa atasi, karena Shigeo tahu kekalahannya terletak pada betapa labil emosinya.

Namun ketika ia akhirnya terpaksa untuk mengeluarkan kekuatannya, saya rasa itu bukan masalah bagaimana destruktif kekuatannya dan bagaimana akan menghancurkan kota, bukan. Di sini lah hal mulai menarik.

Ketika kekuatannya mulai mencapai 100%, Shigeo berubah menjadi sosok yang tampak lebih sombong dan percaya diri. Dengan jujur ia berkata kepada Dimple “Kekuatanmu benar-benar lemah sampai emosiku saja tidak bisa berubah.” Jujur memang, tapi dalam dirinya yang terdalam Shigeo tahu kalau mengatakan hal itu akan berakibat buruk pada perasaan orang. Saya rasa kekuatan yang Shigeo khawatirkan bukan sekadar melukai fisik orang di sekitarnya, namun lebih kepada bagaimana ia tidak bisa mengutarakan perasaan dengan baik dan berakhir melukai orang yang ia sayangi secara batin.

mpc-hc 2016-07-29 11-09-17-69.png
Terrible, as in the lowest human being in the world.

Hingga pada akhir episode Shigeo masih mengkhawatirkan soal kelompok yang akhirnya bubar, karena seperti yang diprediksi, ia mengalahkan Dimple dengan mudah. “Aku masih merasa bersalah soal kelompok yang aku bubarkan. Mereka hanya ingin tertawa.” Tertawa adalah salah satu hal yang Shigeo tidak bisa lakukan selamanya. Namun bagi orang awam, mengeluarkan emosi berlebihan bukan juga hal yang baik, yang meski dalam kacamata Shigeo dibenarkan, tetapi sebenarnya para korban hipnosis justru merasa terbebas dari ilusi kebahagiaan. Ia adalah pahlawan, dan ia tidak menyadarinya.

Episode kurang lebih ditutup dengan “mentor” Shigeo, Arataka Raigen yang menjelaskan tentang “kau adalah protagonis di hidupmu sendiri” dan semacamnya yang berujung pada pujian:

mpc-hc 2016-07-29 11-11-00-67.png

Sampai sini, pertanyaan “Apakah keindahan fisik saja cukup?” terkesan tidak relevan. Ini bukan soal menggaet perempuan lagi, ini masalah bagaimana Shigeo berlaku dengan sifatnya.

Banyak progres yang terjadi di seri ini. Tiap hal dari episode sebelum membangun karakteristik Shigeo yang bukan hanya sekedar orang tanpa emosi, tidak peka, namun di sisi lain memiliki kekuatan yang besar. Mob Psycho menampilkan lebih dari sekedar rangkaian kejadian lucu ataupun action yang berujung cliffhanger. Ini adalah studi karakter dari Shigeo dan bagaimana orang-orang di sekitarnya akan menuntunnya ke arah yang lebih baik. Anime ini memiliki arah dan tujuan yang pasti dari (meskipun tidak adil untuk membandingkan Mob Psycho 100 dengan) One Punch Man, yang keduanya berasal dari manga karya ONE dengan judul masing-masing.

Tentu hebat menyaksikan kekuatan Saitama yang super berlebihan dan cekatan dalam melawan musuh, tetapi ketika di akhir hari, Saitama tetaplah superhero. Langkah anime dalam mempelajari karakter berakhir di tengah awal episode dan berujung menjadi serial superhero pada umumnya. Saitama berhenti berkembang dan yang lebih parahnya lagi One Punch Man menjadi lelucon yang ia coba tertawakan, yakni serial shonen yang selalu berlandaskan pada prinsip “ada gunung di atas gunung”. One Punch Man mencoba menghancurkan landasan itu, yang meski pada akhirnya dibangunnya kembali secara ironis.

Menarik untuk menyaksikan perjalanan Shigeo sebagai siswa SMP yang masih punya banyak “kehidupan” untuk dihabiskan, well, setidaknya untuk 9 episode ke depan. Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Jika semua tidak berjalan seperti yang dibayangkan, episode ketiga tetap menjadi (salah satu) titik puncak untuk seri anime ini.

Samurai Champloo Episode 18 Review: "Everything Moves Forward to be the Same"

Acculturation of Western and Japanese culture has always been a big deal in Shinichiro Watanabe’s Samurai Champloo. While Cowboy Bebop spent its time blending jazz music with intergalactic bounty hunter vagabond, Samurai Champloo takes a turn to making hip hop and other American things big in fictional Edo era of Japan. Everything seems well explored in Samurai Champloo. We get too see the first weeaboo ever, a baseball game episode, even Christianity holds an important role in some episodes.

Lanjutkan membaca “Samurai Champloo Episode 18 Review: "Everything Moves Forward to be the Same"”