Biarkan Tyler, the Creator traveling di kepala lu melalui Call Me If You Get Lost

Tyler makin mengokohkan namanya sebagai salah satu seniman paling berbakat, namun sayang album ini ga membuat gue terpikat.

Call Me If You Get Lost oleh Tyler, the Creator
Genre: West Coast Hip Hop, Neo-Soul, Alternative R&B
dirilis pada 25 Mei 2021 di bawah label Columbia Records

pop hari ini tyler the creator review lagu indonesia

Mendengarkan Wolf buat pertama kalinya sebelum menuju Call Me If You Get Lost adalah keputusan yang ga gue sesali. Menurut gue pribadi, album 2013 tersebut adalah cetak biru untuk album 2021 ini.

Lanjutkan membaca “Biarkan Tyler, the Creator traveling di kepala lu melalui Call Me If You Get Lost”

Suatu ketika Lil Wayne mencoba jadi rockstar melalui Rebirth

Mungkin maksud nama albumnya adalah simbol dia lahir dengan darah rocker, cuma gagal. Jadilah kembali ke hip hop, for better or worse.

Rebirth
oleh Lil Wayne
Genre: Rap Rock, Pop Rap, Alternative Rock
dirilis pada 2 Februari 2010 di bawah label Cash Money

Gue bukan penggemar besar Lil Wayne, dan sejujurnya gue masih muda banget di zaman tenarnya dia, 2008-2011. Musik masa SMP gue ga pernah jauh dari Linkin Park sama LMFAO. Tapi emang sih, ga ada yang namanya terlambat dari menyaksikan karya, termasuk album rock dari Weezy.

Lanjutkan membaca “Suatu ketika Lil Wayne mencoba jadi rockstar melalui Rebirth”

Rainbow Bridge 3, Proyek Hip Hop Paling Metal dari Sematary

Gue mungkin ga bahas di seluruh review, tapi materi Sematary ga pernah jauh dari kekerasan dan satanisme. Kurang metal apa coba?

Rainbow Bridge 3
oleh Sematary
Genre: Experimental Hip Hop, Trap Metal, Horrorcore, Power Noise
dirilis pada 30 April 2021 di bawah label Haunted Mount

review sematary trap metal

Sematary bukan nama pertama yang terlintas di pikiran orang untuk mewakili trap metal. Semenjak penciptaannya, subgenre ini memang selalu terkenal dengan instrumen yang dingin, diiringi dengan vokal yang katarsis. Entah itu geraman BONES dan CORPSE HUSBAND, sautan Ghostmane, jeritan Scarlxrd, atau bentakan Zillakami dan Sosmula, trap metal selalu diwakili oleh beat yang minimalis; memberi ruang untuk vokal bermekar.

Lanjutkan membaca “Rainbow Bridge 3, Proyek Hip Hop Paling Metal dari Sematary”

Menyaksikan perkembangan Porter Robinson dalam Nurture

Sudah genap 7 tahun sejak Porter Robinson memperkenalkan Worlds ke penjuru dunia. Nurture yang ditunggu-tunggu pun tiba, apa penantian kita terbayar?

Nurture
oleh Porter Robinson
Genre: Electropop, Synthpop, Folktronica, Glitch Pop
Dirilis tanggal 23 April 2021 melalui label Mom + Pop

porter robinson nurture review musik bahasa indonesia 2021

Porter Robinson bisa dianggap sebagai salah satu anomali musik elektronik. Dia datang dari banyak pengaruh yang membuat musik-musiknya beberapa kali bisa dikaitkan dengan daftar putar kaum gamer (utamanya pada era Spitfire) dan anthem para wibu (Shelter menjadi tonggak pembuktiannya bersama Madeon dalam video klip yang diusung A1 Animation).

Lanjutkan membaca “Menyaksikan perkembangan Porter Robinson dalam Nurture”

Weezer hadir dengan “OK Human” yang ga OK OK amat

Weezer tidak perlu membuktikan dirinya di album ini. Bukan berarti hal yang baik sih, they just do whatever they want.

OK Human
oleh Weezer
Genre: Chamber Pop, Pop Rock, Piano Rock
dirilis pada 29 Januari 2021 di bawah label Crush

Weezer adalah salah satu band yang cukup berpengaruh dalam eksplorasi musik gue. Terlepas ini adalah salah satu band Amerika Serikat terkenal sepanjang masa, gue baru denger Weezer waktu umur 17, 18? Hal ini relevan, karena musik Weezer di awal memancarkan suasana remaja.

Lanjutkan membaca “Weezer hadir dengan “OK Human” yang ga OK OK amat”

Fresh Finds Indonesia #2

“Weh, ternyata lanjut ke bagian 2, tha? Kirain mandeg kayak proyek yang sebelum-sebelum.”

Di Fresh Finds Indonesia yang pertama, gue ngasi opini soal lagu-lagu yang gue temuin di playlist Spotify, entah layak atau tidak untuk didengar. Dari sudut pandang subjektif tentu saja. Makanya tidak menyertakan folk akustik yang dirasa terlalu by-the-numbers alias biasa aja.

Lanjutkan membaca “Fresh Finds Indonesia #2”

Viagra Boys membawa Post-Punk yang Bikin Tegang dalam “Welfare Jazz”

Band asal Swedia ini bisa jadi tambahan dalam playlist kalian, atau mungkin kalian bisa dengar Parquet Courts untuk kesekian kalinya. Your choice.

Welfare Jazz
oleh Viagra Boys
Genre: Post-Punk, Art Punk, Dance Punk
Dirilis tanggal 8 Januari 2021 di bawah naungan YEAR0001

Mendengar nama band-nya saja sudah pasti kalian tersenyum kecil. Iya, seperti namanya, Viagra Boys adalah kumpulan lelaki penuh semangat yang memutuskan untuk membuat band punk.

Lanjutkan membaca “Viagra Boys membawa Post-Punk yang Bikin Tegang dalam “Welfare Jazz””

Aethernet: Awal Tahun yang Mengagumkan untuk Fax Gang

Di antara gemuruh lo-bit, di Aethernet tersimpan karya yang intim dan catchy.

Aethernet
oleh Fax Gang
Genre:
Cloud rap, Alternative R&B, Hexd
Rilis: 1 Januari 2021

Fax Gang adalah kolektif global beranggota lima orang. Konseptornya, PK Shellboy, adalah seorang warga Filipina. Blacklight tinggal di Australia, maknaeslayer di Inggris, NAIOKI di Norwegia, dan GLACIERBaby adalah warga Amerika Serikat. Mereka berlima menangani audio dan visual mereka sendiri dan Fax Gang bermula dari iseng-iseng di Discord.

Lanjutkan membaca “Aethernet: Awal Tahun yang Mengagumkan untuk Fax Gang”

Tony Velour menyelami Hyperpop lebih dalam di “3M”

Dengan durasi singkat, 3M ga bakal menyita waktu lu. Di saat yang sama, 3M juga bukan sesuatu yang menyita perhatian.

3M
oleh Tony Velour
Genre:
Hyperpop, Bubblegum Bass
Rilis:
15 Oktober 2020

Nama Tony Velour ga begitu akrab di telinga gue, sampai mungkin ketika dia tampil di salah satu lagu dalam 1000 Gecs and The Tree of Clues. Itu, dan juga gue direkomendasiin sama salah satu temen internet, Iqbal, di salah satu video.

Lanjutkan membaca “Tony Velour menyelami Hyperpop lebih dalam di “3M””

Gue suka banget Kanye West – The Life of Pablo (2016)

Sekarang tahu kenapa taste anak yang satu ini jelek sekali: Dia suka The Life of Pablo!

nokitron review musik bahasa indonesia

Layaknya pagi-pagi lain di atas motor, ide acak muncul ke dalam kepala gue. Ketika perjalanan pulang dari pasar sama Mama, gue memikirkan untuk mendengar ulang The Life of Pablo setibanya di rumah.

Kontroversi Kanye West lagi-lagi diperbarui dengan Jesus Is God, album yang baru dia rilis beberapa hari lalu. Penggemar, pembenci membicarakan keabsahan pengakuan West soal “album religi” yang ia buat. Kanye melewati masa-masa yang janggal dengan lebih sering ibadah minggu, melayani di gereja-gereja. Janggal karena perilaku ini bukan yang diharapkan dari seorang rapper yang sering mengangkat hedonisme. Tidak salah orang mencari bukti lebih kalau Kanye telah benar-benar berubah, meski keabsahannya pun tidak begitu berpengaruh pada apapun, sih.

Layaknya Yeezus (maupun Yandhi), Jesus Is King tampil polos tanpa sampul album. Namun kesamaan ini hanya terbatas di situ, soalnya sampul kedua album ini menyampaikan pesan yang berbeda.

Yeezus menelanjangi diri dari My Beautiful Dark Twisted Fantasy yang penuh dengan wibawa, sehingga membawa karya Kanye menuju god complex yang jauh dari sebelumnya. Berselang dua album, Jesus Is King memancarkan nada segan, rendah hati dengan gambar vinyl biru prusia bertulisan kuning emas yang berisi lagu-lagu “gospel” berdurasi singkat.

Apa yang gue denger dari Jesus Is King bukan puji-pujian yang mencerahkan. Salah satu trek paling berkesannya saja adalah On God, lagu dengan arpeggio futuristik dan brass leyot-leyot khas 80-an. Tidak ada nuansa gospel-gospelnya sama sekali.

The Life of Pablo punya Ultralight Beam, salah satu intro terkuat yang pernah gue denger dari album manapun. Lagu dimulai dengan potongan ucapan gadis cilik dengan sulih suara Kanye agar terkesan seperti dialog. Nuansa syahdu tidak terputus ketika bass yang tidak melulu hadir memberi pondasi pada pad menggertak dan drum sinkopatik. Vokal di sini yang justru memberikan dimensi lebih melalui sekelompok paduan suara, Chance the Rapper, dan Kanye sendiri.

We on an ultralight beam
We on an ultralight beam
This is a God dream
This is a God dream
This is everything
This is everything

Satu lagu terasa mengangkat, tetapi apa yang tiba di outro melempar Ultralight Beam ke tingkatan yang baru dengan performa vokal yang menggetarkan dan klimatis.

Nuansa gospel berlanjut dalam Father Stretch My Hands Part 1, dalam takaran tertentu. Part 1 memiliki sample dari Father I Stretch My Hands-nya Pastor T. L. Barrett yang dicincang sedemikian rupa. Namun tepat di detik setelah tag Metro Boomin keluar, lagu berubah haluan menjadi Kanye yang kita tahu, yakni arogan dan hedon. Bagaimanapun, baris “bleached asshole” yang terkenal berasal dari trek ini.

Apa yang terdengar selanjutnya dari The Life of Pablo adalah kolase lagu-lagu yang tidak berkaitan. Hal ini memang benar adanya apabila album ini tidak memiliki konteks. Nyatanya, The Life of Pablo punya sejuta konteks yang membentuk tiap suasananya.

Kanye tidak mau move on dari kejadian VMA dengan menyinggung Taylor Swift di Famous, blak-blakan soal laptop-nya yang dicuri dalam Real Friends, pamer soal Yeezy mengalahkan Jordan dalam Facts. Kehidupan pribadi Kanye adalah benang dari kumpulan “kekacauan” ini, sehingga menghadirkan kesan tersendiri ketika mendengarkan album ini berulang-ulang.

Bicara soal berulang-ulang, The Life of Pablo memang dirilis beberapa kali. Ada perubahan yang terjadi dari rilisan di Tidal dan akhirnya hijrah ke Spotify dengan satu lagu tambahan, Saint Pablo (kita bakal bahas nanti).

Gue adalah salah satu saksi saat The Life of Pablo baru banget dirilis. Ga bakal lupa kacaunya perilisan album ini. Mulai dengerin album ini berulang-ulang di Musicbee gue, dan setelah nyoba denger di Spotify, ada beberapa perubahan drastis. Salah satu yang paling utama adalah penambahan reese bass yang menggaruk telinga di beberapa kesempatan. Komponen-komponen kecil juga banyak nimbrung di sini, entah itu kontribusi vokal atau string tambahan. Tapi satu yang pasti, mix-nya sengaja memberikan nuansa kalau komponen tersebut merupakan hasil tambalan, yang memang baru ditambah setelah perilisan perdana.

The Life of Pablo mengandung banyak trek selingan yang “redundant”. Bagi gue, mereka justru membentuk kepribadian album dengan lebih nyata. I Love Kanye adalah akapela solo yang memberikan pandangan satir mengenai dua sisi Kanye yang orang-orang bedakan: Kanye lama yang suka pakai sample soul dan Kanye baru yang angkuh. Silver Surfer Intermission adalah “akapela” lainnya dalam album ini. Dialog Max B dan French Montana via ponsel mengutarakan dukungan kepada Ye soal album barunya. Lonjakan moral yang nampaknya dia butuhkan pada saat itu sampai-sampai disisipkan di album sendiri.

Kanye lama dan Kanye baru nyatanya memang muncul dalam album ini. The Life of Pablo timbul dengan eksperimentasi dan tradisi, minimalis sekaligus detil, boom bap dan trap rap. Dia adalah rangkuman kecil dari warna musik yang Kanye teliti selama tujuh album terakhir (jika menghitung Watch the Throne). Sayang sekali tidak ada yang pernah mengangkat argumen versatilitas ketika bicara soal The Life of Pablo. Alih-alih lagu akustik lo-fi setengah matang, gue justru denger pengaruh deep house di Fade, sedikit percikan soul di Part 1, penggunaan instrumen noise di Feedback maupun Freestyle 4.

Rendisi awal TLOP berakhir di Fade, sedangkan versi finalnya memberikan Saint Pablo untuk didengar di Spotify dan Apple Music. Fade adalah trek sensual yang ditunjukkan dengan bassline meloncat (“bouncy” bahasa Indo-nya apa sih?) nan menggoda dengan baris berbau seksual “deep deep down inside” yang diulang-ulang. Kalau itu belum cukup, video untuk lagu satu ini tampak binal untuk platform sebersahabat Youtube. Saint Pablo di lain sisi terasa seperti malam hari di gereja terpencil sembari bintang-bintang berlarian, menyisakan jejak putih di atas langit. Fitur Sampha di chorus padu dengan instrumen yang mellow dan mengalun, pun Kanye yang bicara soal merelakan dirinya kepada Tuhan. Bukan trek gospel secara tradisional, tetapi merupakan dimensi berbeda dari apa yang tersajikan di Ultralight Beam.

Ibaratnya video game, album ini menyajikan dua “ending” dari TLOP. Saint Pablo bukan sekadar trek bonus, melainkan interpretasi baru soal album ini. Jika hanya berakhir di Fade, TLOP adalah seseorang yang tidak belajar, terjatuh ke dalam lubang yang tidak ingin dia untuk panjat. Saint Pablo memutarbalikkan persepsi tersebut, sehingga progres Kanye menuju ye dan Jesus Is King adalah masuk akal. Kedua album setelahnya adalah usaha dalam memperbaiki diri, tidak bersembunyi di balik imej gengsi dan pamer harta. Meski begitu, bukan berarti progres Kanye sepenuhnya lengkap.

Masih banyak hal yang menanti untuk dikupas, hanya waktu yang bisa berujar.