Review Kacangan: Ad Astra (2019) – Tidak Ada Tuhan di Luar Angkasa

Nokitron menganalisa lebih dalam tentang apa yang membuat film sebesar Ad Astra terasa sangat dekat dan terhubung.

Monolog, suara hati, atau apapun itu; bahasa film yang jarang digunakan belakangan ini. Tokoh utama yang bicara secara introspektif sering ditemui dalam film noir atau sinetron Indonesia. Umumnya untuk mengungkapkan niat jahat ataupun niat baik. Roy McBride bukan keduanya, dia hanya pria yang tidak peduli soal bicara dengan orang lain.

“Jangan sentuh aku.” adalah salah satu ucapan batin yang saya ingat jelas dari karakter utama Ad Astra ini. Suara introspektif ini jarang dipakai sineas Hollywood karena mereka hanya tahu dua jenis percakapan: Ketika mulut berkata atau tidak sama sekali. Dalam ekstrimnya, jenis kedua dipakai kalau ingin menunjukkan ketersiratan, pilihan pertama dipakai untuk eksposisi plot yang menjemukan.

Ad Astra bukan film yang tersirat. Nyatanya, Roy McBride adalah astronot dengan kisah paling terbuka sepanjang saya menonton film luar angkasa. Suara hatinya selalu dikeluarkan entah melalui narasi, kilas balik, atau sekadar percakapan kecil dengan kolega.

Astronot pada film-film umumnya punya tujuan ke luar angkasa untuk membuktikan diri, menyelamatkan Bumi, menjelajahi, menjalankan misi; tapi intensi-intensi tersebut tidak pernah menjelaskan sifat alami dari karakter yang bersangkutan.

Ad Astra adalah perjalanan manusia tunggal, tidak pernah memanah pada keberlangsungan umat manusia secara langsung. Film ini pribadi, terima kasih kepada Brad Pitt yang berhasil mematahkan batasannya sendiri setelah menjadi Cliff dalam Once Upon a Time in Hollywood… Memang ada plot entah itu tentang keluarga, konspirasi, spiritualisme. Namun, layaknya Roy, Ad Astra tidak pernah memalingkan pandangannya pada satu nilai yang film ini pegang.

Sutradara James Gray mempersilakan penontonnya untuk meneliti karakter Roy McBride selama 127 menit. Roy adalah astronot tangguh, terlihat memegang kendali utuh atas badannya. Kecelakaan di menara satelit kiloan meter tingginya pun hanya membuat jantungnya berdetak sedikit lebih kencang dari yang sudah-sudah: tidak lebih dari 100 bpm.

Hidup Roy mulai terusik ketika dia disuruh melakukan komunikasi antar-planet bersama ayahnya yang puluhan tahun hilang tanpa kabar. Rasa bimbang pun tumbuh di hati Roy.

Menonton Ad Astra terasa seperti menguliti bawang merah. Tiap lapisan dari karakter utama kita perlahan-lahan memberikan kesedihan. Film ini bicara keras kepada kaum introvert. Tidak pernah sombong, tetapi rendah hati dan berusaha mencari tahu sebab utama kesendirian tokoh utama kita.

Untuk film dengan tema luar angkasa, Ad Astra mengeksploitasi ruang hitam tanpa batas secara sungguh-sungguh. Bukan menunjukkan entitas lebih tinggi seperti 2001: A Space Odyssey, bukan menunjukkan perjuangan hidup seperti Gravity, tetapi bagaimana menyikapi fakta kalau manusia hanya sendiri.

Kalau karakter utama kita hanya sendiri, dan dibatasi dengan masa lalu yang tidak bisa membuatnya pergi. Tiap frame dari pengarah fotografi Hoyte van Hoytema hanya mengempasis unsur ini tanpa memberikan sedikit optimisme. Roy butuh perjalanan mencari Clifford, ayahnya, di planet Neptunus untuk menyadari satu hal penting kalau cinta dia kepada sang ayah hanya bergerak satu arah. Ironis, karena Clifford juga bergerak menjauhi Roy sampai ke ujung tata surya. Ribuan juta mil jauhnya.

“Ini adalah rumahku.”, ujar sang ayah di pesawat ulang alik yang sunyi itu. Satu-satunya harapan Roy hilang. Puluhan tahun menaruh harap, agar setidaknya bisa melihat tujuan hidupnya bangga. Tidak ada musik, tidak ada teriakan, hanya kecewa yang hadir dalam bentuk air mata, baik mata Roy maupun mata saya.

Tetapi bukan hanya Roy yang dikecewakan. Clifford juga punya sedikit nilai sentimental dalam film ini. Ia menjelajahi ribuan mil dengan optimisme kalau ada bentuk kecerdasan selain manusia. Ini adalah misi utamanya. Program yang diterima Clifford semenjak meninggalkan Bumi, yakni untuk tidak mengecewakan Tuhan atas apa yang dikaruniakan kepadanya – Ia sempat berkata kalau usahanya adalah “misi Tuhan”.

Ternyata, tidak ada Tuhan di luar angkasa.


mv5bytiwytrimdutmdnhzc00mmnilwi3oditnge0n2jkngm5mwiwxkeyxkfqcgdeqxvyntu3njk4ntu40._v1_sx1777_cr001777740_al_

Melalui Ad Astra, James Gray terkesan mencentil konsep eksplorasi luar angkasa yang vulgar. Bagaimana rasa keingintahuan kita menyajikan ribuan pertanyaan di luar sana, padahal jawabannya hanya satu, dan itu kembali menelisik ke dalam. Berpegang pada apa yang telah kita punya adalah kuncinya. Meski ini terkesan lugu untuk beberapa orang, buah pikiran ini lebih indah ketimbang “cinta menembus ruang dan waktu”-nya Interstellar.

Film ini juga tidak jarang memancarkan aura art-house di dalamnya. Penceritaan karakter yang intim ditemani dengan pembawaan yang kalem, membuat bosan, tidak berarah, dan tentunya tidak semenarik film yang ditarget untuk pasar tertentu. Saya melihat banyak pengaruh Denis Villeneuve di sini. Lucunya, adegan kredit awal memancarkan suasana Blade Runner, yakni salah satu franchise yang sempat ditangani Denis di tahun 2017. Worldbuilding memancarkan sedikit Sicario, dan psikologi astronot yang dibahas mengingatkan akan Apocalypse Now.

Saya memuji selama 600-an kata bukan berarti film ini tanpa cela. Banyak unsur plot yang bisa hadir dengan pilihan yang lebih darurat. Soalnya, banyak keputusan “urgent” yang terkesan merepotkan diri alih-alih memberikan alasan pasti kenapa itu harus dilakukan. Sebut saja kepergian Roy ke Mars untuk berkontak dengan ayahnya melalui suara. Kenapa tidak kirim saja pesan tersebut melalui Bumi? Itu satu di antara beberapa, saya tidak ingin fokus terlalu banyak.

Last but not the least, saya ingin berbicara lagi sinematografi di film ini. Tekstur pantulan cahaya sembari kita disajikan pemandangan luar angkasa adalah detil kecil yang membuat tersenyum kecil. Terasa seperti benar-benar menanamkan kamera film ke luar angkasa demi tujuan estetika. Simetrisme juga jadi andalan dalam film ini. Tidak jarang objek utama diletakkan di tengah layar untuk menggambarkan kekosongan luar angkasa.

Gubahan musik Max Richter mengangkat tensi adegan dengan cara yang menarik. Interstellar boleh jadi tak kalah kuat dalam segi sinematografi – mereka sama-sama diarahkan oleh Hoytema –, tetapi saya tidak pernah menemukan karisma yang orang lain lihat dari suara-suara karangan Hans Zimmer. Bebunyian keras sok majestik yang jauh dibandingkan Richter di Ad Astra.


review ad astra bahasa indonesia

Satu hal yang saya lihat dalam film ini selain Roy dan Clifford adalah STARCOM. Rasanya mereka adalah pengelola politik luar angkasa yang mengatur sumber daya, transportasi, dan juga keamanan. Ada satu adegan di mana Roy dikawal oleh salah satu petinggi STARCOM di Bulan. Ada sengketa di sana sehingga warga sipil dapat dihabisi oleh oknum ilegal. Bahkan pergi dari Bumi pun tidak memberikan kedamaian. Tetap ada yang namanya kematian dan cabang Subway di stasiun luar angkasa.

Kembali ke STARCOM. Mereka mengatur semuanya, termasuk menyuruh Roy untuk melakukan apa yang mereka inginkan. STARCOM juga menyuruh awak-awak pesawat untuk membunuh Roy saat ia masuk secara diam-diam. Di satu adegan mereka memuji Roy, anak sang legenda. Di adegan lain, hati nurani mereka tidak bekerja. Hanya meminta petunjuk dari STARCOM.

“Musnahkan masalah dengan cara apapun.”, dan mereka jadi membunuh. Sejauh yang saya lihat, STARCOM adalah penyelamat. Mereka adalah Tuhan bagi para orang-orang di sana.

God is an astronaut. Nama band post-rock yang cukup cheesy, tetapi agak relevan untuk menggambarkan situasi ini.