Review Kacangan: The Terrorizers (1986)

Kumpulan manusia yang saling menghancurkan di tengah kota yang menawan.

It’s kinda been a long time, but I decide to write this review just quickly. Biar blog juga keisi, sih.

Review The Terrorizers Bahasa Indonesia
Bacanya “The Terrorizers”, sih, kalo ga salah.

Banyak sebutan untuk The Terrorizers. Ini adalah film yang kalian tidak pernah dengar sebelumnya, tetapi berkibar nyala di kancah genre New Wave Taiwan. Ini juga merupakan film yang mungkin kalian lihat screenshot-nya di satu blog estetik yang namanya sulit diucapkan, atau dijadikan FMV untuk lagu sebuah band indie pop yang direkomendasikan Youtube buat kalian.

Kacau adalah kata yang tepat, bingung adalah perasaan yang wajar, tetapi indah adalah ungkapan yang cocok untuk mewakili The Terrorizers. Diiringi dengan cerminan kota Taipei dekade 80-an, film membuka ceritanya dengan adegan baku tembak tersantai yang pernah saya lihat.

The Terrorizers.mkv_snapshot_00.02.40_[2018.12.01_09.41.31].png

Jangan berharap untuk mengetahui apa yang terjadi hanya dari menonton 30 menit awal. Karakter-karakter dalam film ini memiliki plot masing-masing yang tidak berkaitan. Sang fotografer sibuk cekrek sana-sini sembari si gadis kriminal menjadi salah satu karakter paling buruk di dalam film ini. Kalau Chungking Express punya si gadis stalker, The Terrorizers punya gadis ini. Sayang, padahal keduanya tipe saya sekali.

Tapi iya, semuanya berjalan dengan tanpa hubungan. Pada awalnya.

Kemudian film mengupas kisah para tokoh ini dengan adegan “tanpa tujuan” terus menerus, ditambah dua tokoh baru. Pasutri kurang bahagia memiliki dinamikanya sendiri, sebuah romansa di ujung tanduk yang hidup karena perasaan saling membutuhkan. Kalau saja kalau sang suami tidak terlalu banyak dengan menghabiskan waktu di lab juga cuci tangan.

Review Bahasa Indonesia The Terrorizers 1986

Edward Yang telah melakukan apa yang para fotografer dadakan Instagram lakukan dengan tagar #broadmag mereka, dan beliau melakukannya dengan penuh keanggunan. Di samping merekam lanskap kota, Yang juga sering bereksperimen dengan lingkup yang sempit. Objek-objek penting di dalam suatu adegan selalu menjadi sarana fotografi beliau. “Sudut mana ya yang kira-kira bisa bikin ini frame bisa dipajang jadi lukisan” adalah kasaran dari jalan pikiran Edward yang saya tangkap selama menonton The Terrorizers. Pencahayaan natural dan sudut akurat yang ditemani dengan pembuka adegan yang kadang tidak wajar adalah wajah utama dari karya ini.

Review Bahasa Indonesia The Terrorizers 1986
Contoh filmmaking yang gue suka di film ini: Jadi itu awalnya jendelanya masih ketutup, kan. Terus si ceweknya ngebuka jendela, dan abis itu keliatan refleksi si tukang bersih jendelanya. Keren banget, soalnya bikin ini adegan berasa kayak sehari-hari aja gitu.

Film menutup diri dengan apa yang mungkin merupakan metode bait-and-switch yang terasa tidak asing. Oh, iya, On the Beach at Night Alone menggunakan eksekusi yang serupa. Kalau mau dibilang, sih, The Terrorizers memberikan perasaan ngeri yang lebih.

Keterkaitan antara beberapa subplot di dalam film menambah dimensi yang berarti bagi para tokoh. Sang fotografer, misalnya, telah menemukan resolusi kisahnya di pertengahan film akibat pertemuannya dengan salah satu tokoh. Kita beranjak menuju subplot lain untuk mengetahui akhir dari kisah mereka. Meski memang akhir bukanlah tujuan dari film ini, melainkan rentetan perasaan yang terwakili di masing-masing adegan.

Review Bahasa Indonesia The Terrorizers 1986

Film keluaran 1986 ini masih memberikan kesan aneh setelah credits diputar. Sebuah pengalaman yang sebenarnya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Detilnya adegan-adegan memberikan kenyamanan tersendiri, namun saya sangat sadar kalau orang-orang di film ini tidak sempurna, yakni banyak hal buruk yang mereka lakukan pada masing-masing. Justifikasi dari ini adalah mereka hanya mencari kebahagiaan yang mereka definisikan masing-masing. Beberapa berhasil, tidak sedikit juga yang gagal. Bukannya kita semua juga begitu?

Banyak sebutan untuk The Terrorizers. Bagi beberapa, ini adalah film yang membosankan, tipis eksposisi, dan juga ending yang tidak berarti. Kalau saya sendiri menyebutnya sebagai “olahan kisah pilu penuh kebetulan di tengah indahnya metropolitan yang berbahaya”. Kalimatnya pretensius, sih, tetapi saya bisa saja bikin ungkapan yang lebih menggelikan lagi dari itu.

Beberapa frame yang sayang kalau ga di-upload: